Makassar (ANTARA) - Masyarakat adat dari berbagai komunitas berharap pemerintah segera menyelesaikan konflik tenurial terhadap pengakuan dan perlindungan wilayah kawasan hutan adat, menyusul adanya penetapan tata batas kawasan hutan negara ke dalam wilayah adat di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan (Sulsel).
"Kami harap ini diselesaikan dan menolak penetapan kawasan hutan negara di wilayah adat, karena berimplikasi terhadap perampasan ruang hidup masyarakat adat," kata Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sinjai Awaluddin Syam melalui siaran persnya diterima, Senin.
Menurutnya, kawasan hutan negara dalam hal ini diklaim sepihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII Makassar, perlu dibicarakan penyelesaian dengan melibatkan masyarakat adat agar tidak berkonflik.
Hal senada disampaikan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sinjai Solihin selaku pendamping masyarakat adat menyatakan. Jika persoalan tersebut, tidak diselesaikan, kata dia, maka akan menjadi bom waktu bagi masyarakat adat maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sinjai.
Kendati telah banyak upaya dilakukan AMAN Sinjai dalam 10 tahun terakhir untuk menyelesaikan permasalahan ini, namun pihak pemkab setempat tidak memberikan respons baik, padahal wilayah adat perlu pengakuan pemerintah. Alasannya, mereka lebih dulu hadir sebelum Indonesia merdeka.
Selain itu sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Pemkab Sinjai Nomor 1 tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, serta didukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 tahun 2012 menyatakan hutan adat berada di wilayah adat dan bukan di kawasan hutan negara.
"Mestinya Pemkab Sinjai mengimplentasi perda ini dan KLHK menjalankan putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 yang menyebutkan hutan adat itu berada di wilayah adat dan bukan di kawasan hutan negara," katanya.
Sebagai bentuk keseriusan menagih janji pemda setempat, pihaknya menggelar aksi damai menuntut segera menjalankan mandat Perda Nomor 1 Tahun 2019 serta meminta DPRD Sinjai mengevaluasi lambatnya implementasi perda tersebut terkait pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.
"Kami juga meminta pelibatan masyarakat adat dalam perencanaan pembangunan dan penetapan kebijakan. Dan menolak dengan tegas penetapan tata batas kawasan hutan negara di dalam wilayah adat, karena itu bukan kawasan hutan negara," ujarnya.
Selain itu menolak izin usaha yang tidak partisipatif dalam wilayah adat serta mendesak agar segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat yang berpihak terhadap masyarakat adat, termasuk menolak kebijakan atau undang-undang lainnya yang menyengsarakan masyarakat.
Sekretaris Daerah (Sekda) Sinjai Andi Jefrianto Asapa pada diskusi publik sebelumnya bersama AMAN menyampaikan berkaitan percepatan identifikasi, verifikasi, dan validasi masyarakat adat Sinjai telah dijabarkan dalam UUD 1945, Pasal 18B Ayat 2 yang mengatur soal hak adat.
Disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI yang telah diatur dalam Undang-Undang.