Jakarta (ANTARA) - Rusuh antarpendukung Ajax Amsterdam dan Maccabi Tel Aviv usai pertandingan Liga Europa pada Jumat 8 November lalu yang menyebar ke berbagai sudut kota Amsterdam, menyingkapkan dimensi melebihi spektrum olahraga.
Berbagai laporan menyebutkan bibit rusuh sudah tercipta dua hari sebelum pecahnya insiden yang disebut Barat dan Israel sebagai anti-Yahudi itu.
The Athletic mengungkapkan ketegangan sudah terjadi Rabu sebelumnya ketika bendera Palestina di sebuah gedung di pusat kota Amsterdam diturunkan oleh para pendukung Maccabi.
Kepala kepolisian Amsterdam, Peter Holla, bahkan menyebutkan para pendukung Maccabi menyerang sebuah taksi dan membakar bendera Palestina.
Yang mengherankan adalah mengapa pendukung Maccabi begitu berani melakukan provokasi di tempat yang sudah diliputi sentimen pro-Palestina akibat perang yang dilancarkan Israel di Jalur Gaza.
Amsterdam adalah satu dari banyak kota di Eropa yang diguncang gerakan solidaritas Palestina.
Sikap fans Maccabi itu malah menguatkan pandangan bahwa warga Israel sudah tak mengenal lagi kebenaran tentang situasi di Gaza, selain yang ditanamkan oleh pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Mereka juga dicekoki oleh media massa yang hanya mengekspos sukses militer Israel, tapi menutup serapat mungkin informasi mengenai kehancuran Gaza akibat aksi militer itu.
Rakyat Israel hanya percaya kepada narasi bahwa negaranya adalah korban dan untuk itu pantas melakukan hal yang paling ekstrem sekalipun di Gaza.
Akibatnya, mereka menolak fakta lain di Gaza, termasuk fakta puluhan ribu anak dan wanita Palestina mati akibat perang di Gaza, kelaparan atau kehancuran Gaza yang bahkan digolongkan sebagai genosida oleh dunia internasional.
Mereka menolak laporan paling objektif sekalipun mengenai Gza, termasuk yang dilakukan oleh media massa mereka sendiri yang masih berusaha imbang, seperti +972 Magazine dan Haaretz.
Pemerintah mereka melakukan sensor sangat ketat kepada baik media massa dalam negeri maupun media asing.
Pemerintah Netanyahu membatasi akses media massa asing ke Gaza. Wartawan asing diharuskan didampingi tentara Israel (IDF) dan mewajibkan sensor terlebih dahulu oleh IDF sebelum menyiarkan laporan mereka.
Sensor ketat
Pengekangan media seperti ini membuat sedikit sekali media asing, termasuk media Barat, yang melaporkan apa yang sesungguhnya terjadi di Gaza.
Hanya segelintir media, termasuk Al-Jazeera, yang konsisten menyajikan laporan berimbang tentang Gaza.
Bagaimana dengan media massa Israel? Mereka bahkan lebih buruk lagi karena ramai-ramai menyiarkan laporan versi IDF mengenai Gaza.
Sejumlah wartawan Israel yang masih menjunjung objektivitas menyampaikan penilaian itu. Salah satunya adalah jurnalis yang juga aktivis, Anat Saragusti.
"Fakta bahwa pemirsa Israel tidak melihat gambaran (seutuhnya) Gaza, mengartikan wartawan-wartawan (Israel) tidak mengerjakan tugasnya," kata Saragusti dalam podcast Haaretz Weekly pada 13 Desember 2023.
Oleh karena itu pula, sambung Saragusti, "kami (orang-orang Israel) tak pernah melihat penindasan, kerusakan, kehancuran, dan krisis kemanusiaan (di Gaza). Sebaliknya, dunia malah melihat situasi yang sama sekali berbeda."
Pendapat Saragusti itu salah satunya dimanifestasikan dalam bagaimana pendukung Maccabi Tel Aviv memicu keonaran di Amsterdam, yang merupakan salah satu kota di Eropa yang diliputi sentimen pro-Palestina.
Pendukung Maccabi mungkin tak menyangka mendapati kenyataan di Amsterdam.
Selama ini, mereka dan sebagian besar rakyat Israel, menganggap sikap Eropa yang mulai kritis terhadap Israel, sampai negara-negara seperti Spanyol memberikan pengakuan kepada negara Palestina, sebagai hoaks dan wujud dari sentimen anti-Israel yang sering secara serampangan mereka samakan dengan sikap anti-Yahudi seperti sikap Nazi selama Perang Dunia Kedua.
Tak heran pendukung Maccabi mencemooh ajakan hening sejenak di Johan Cruyff Arena sebelum laga Macaabi melawan Ajak, untuk mengenang korban banjir Valencia di Spanyol. Mereka tidak suka terhadap sikap pemerintah Spanyol yang mengakui Palestina.
Suasana hati warga dan pendukung Israel seperti ini sebenarnya sudah merebak di tempat-tempat lain, khususnya Amerika Serikat yang merupakan advokat Israel yang paling setia. Sebagian besar warga Paman Sam menolak pandangan umum dunia tentang Palestina, termasuk gugatan genosida yang diajukan Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional.
Sikap tak ingin melihat versi lain di Gaza dan Palestina itu dipicu oleh laporan bias media massa Israel dan AS, ditambah pembentukan opini yang agresif oleh organisasi-organisasi lobi Israel di Amerika Serikat.
Gen-Z tak percaya
Sebaliknya, kaum progresif di Amerika dan kaum Gen-Z, tidak puas dengan gambaran seragam tentang Gaza seperti itu, yang mereka simpulkan sudah bias sekali.
Mereka tak percaya kepada versi Gaza yang dibuat media arus utama yang sebagian besar memang mengandalkan laporan dari Israel yang sudah bias. Bahkan wartawan dan pakar media di Israel, Oren Perscio, dalam wawancara dengan +972 Magazine yang disiarkan pada 16 Oktober 2024, menyebut laporan media Israel melulu berisi propaganda.
Akhirnya, kaum muda di AS dan juga di negara-negara Barat lain mencari media alternatif seperti Intercept, Aljazera, bahkan laporan netizen dalam platform-platform sosial, khususnya TikTok yang tak dikendalikan oleh AS dan Barat.
Pola konsumsi media yang tak mempercayai media arus utama ini mendorong kaum muda di Barat menafsirkan sendiri situasi Gaza, termasuk dalam melihat peristiwa-peristiwa kemanusiaan penting yang berkaitan dengan Israel, seperti holocaust.
Jajak pendapat Pew Research Centre yang dipublikasikan akhir Maret 2024 misalnya, menyebutkan bahwa seperlima penduduk AS yang berusia 18-29 tahun menganggap holocaust sebagai mitos, sementara 10 persen Gen Z di negara itu yakin Yahudi yang justru mengawali holocaust.
Gen Z ini pula yang menjadi motor gerakan solidaritas Palestina di Amerika Serikat pertengahan tahun ini yang kemudian menyebar ke Eropa dan banyak negara di dunia.
Gerakan mereka semakin besar dan luas karena sikap pemerintahan Barat dan Israel sendiri yang tidak imbang dalam mengungkap keadaan di Gaza dan Palestina. Belakangan ini sentimen pro-Palestina itu merasuk ke semua matra kehidupan, termasuk kompetisi olahraga.
Belakangan ini saja, para pendukung sepak bola Eropa, mulai Celtics di Skotlandia sampai Paris Saint Germain di Prancis, berulang kali melakukan tindakan provokatif di dalam stadion dengan membentangkan bendera Palestina dan meneriakkan yel-yel pro-Palestina.
Belum lama ini pula pendukung Besiktas dari Liga Turki, yang akan menjadi lawan Maccabi berikutnya dalam Liga Europa, mengancam melakukan hal lebih keras dari pada dilakukan pendukung Ajax Amsterdam pekan lalu itu.
Kecenderungan-kecenderungan ini membuat beberapa kalangan di Eropa khawatir kejadian di Amsterdam merembet ke ajang-ajang lain termasuk UEFA Nations League ketika mulai akhir pekan ini Israel dan tim-tim Eropa, bertemu satu sama lain dalam pertandingan bersistem kandang-tandang.
Kekhawatiran itu menunjukkan siklus protes pro-Palestina dan anti-Israel tak akan segera berakhir, karena sangat tergantung kepada sikap pemerintah-pemerintah Barat dan Israel dalam menyelesaikan tidak hanya masalah Gaza, tapi juga persoalan Palestina secara keseluruhan.
Bahkan, jika berlarut-larut sampai beberapa tahun ke depan, peristiwa Amestedam bisa terjadi pula dalam Piala Dunia 2026, jika Israel lolos dan saat bersamaan perpolitikan AS memanas oleh friksi politik antara kaum progresif di negara itu dengan Presiden Terpilih Donald Trump yang sejak awal memberi angin kepada pemerintahan kanan ekstrem Israel pimpinan Benjamin Netanyahu.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akar kerusuhan di Amsterdam