Makassar (ANTARA) - Saat manusia berinteraksi, persoalan kebutuhan dasar manusia juga ikut secara sadar maupun tidak. Transaksi sangat sederhana dilakukan dengan cara barter bahan pokok dengan bahan sandang atau papan. Lalu muncul mata uang yang sederhana dalam wujud koin logam atau kayu pada zaman kerajaan.
Dalam perkembangannya, koin logam yang digunakan dalam bertransaksi dari sisi ekonomi, diikuti dengan inovasi yang kemudian menghadirkan uang kertas. Sejarah perkembangan benda tersebut sebagai alat transaksi, semua terekam dan terdata dalam perkembangan sejarah Bank Sentral di Indonesia yang perjalanannya dari masa ke masa dapat dilihat di Museum Bank Indonesia di Jakarta.
Mata uang sebagai alat transaksi yang diawasi dan dikontrol oleh bank sentral, juga terus berkembang seiring dengan waktu. Peran dan posisi Bank Sentral pun juga terus berkembang dalam memperkuat lembaga negara ini menjaga stabilitas sistem keuangan dan moneter di Indonesia.
Kemudian di penghujung tahun 2000 saat perkembangan informasi dan komunikasi yang diikuti dengan sistem digital mulai merambah negara-negara berkembang, diantaranya Indonesia, maka pengiriman uang dari satu wilayah ke wilayah lainnya tidak lagi menggunakan wesel pos sebagai salah satu bentuk pelayanan transaksi keuangan.
Transfer melalui bank dan antarbank pun direalisasikan di lapangan, sehingga semakin memudahkan transaksi di lapangan. Setahap demi setahap masyarakat mulai mengenal sistem layanan perbankan yang lebih mudah dalam bertransaksi.
Terlebih lagi ketika tidak perlu menggunakan buku bank, ketika akan menarik ataupun mentransfer uang ke rekening lain atau rekening sendiri dengan adanya Kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan fasilitasnya.
Dengan perubahan tersebut, pembentukan "smart citizen" pelan tapi pasti pun berjalan, seiring dengan perkembangan digitalisasi keuangan. Masyarakat atau warga yang diistilahkan citizen, khususnya yang berdomisili di wilayah perkotaan sudah pintar (smart) menggunakan ATM dalam bertransaksi, karena kemampuan adaptasinya di lapangan serta ditunjang oleh fasilitas yang lebih lengkap dibanding pedesaan.
Tantangan di masa COVID-19
Kebiasaan bertransaksi melalui ATM, sempat terganggu dengan adanya wabah COVID-19 karena adanya pembatasan berinteraksi, termasuk pembatasan perjalanan antarwilayah dengan kebijakan "lock down" yang dikeluarkan pemerintah pada Maret 2020.
Kondisi itu, mendorong dan sekaligus memaksa masyarakat untuk dapat beradaptasi, sehingga dapat bertahan (survive). Termasuk menjalankan sektor ekonomi di lapangan yang tidak terlepas dari transaksi keuangan yang dipaksa berhadapan dengan sistem digital.
Gayung pun bersambut, perkembangan dunia digital secara global telah mendorong perbankan menggunakan uang digital dalam bertransaksi. Hal itu diadopsi Bank Indonesia yang memainkan peran selaku Bank Sentral, membuat kebijakan terkait Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai respon terhadap tantangan zaman pada 2019 atau sebelum terjadi wabah COVID-19.
Bank Indonesia meluncurkan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) bertepatan pada peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada 17 Agustus 2019. Selanjutnya secara nasional mulai diberlakukan pada 1 Januari 2020.
Awal Januari 2020 QRIS mulai diterapkan secara nasional dan diwajibkan untuk seluruh penyedia layanan pembayaran dan masyarakat pun harus mencoba dan beradaptasi menggunakan QRIS dalam bertransaksi.
Saat COVID-19 merebak di Indonesia, tren penggunaan QRIS yang tanpa kontak fisik terus merangkak naik seiring dengan gencarnya sosialisasi literasi dan inklusi keuangan yang dilakukan Bank Indonesia di daerah bersama mitra baik di sektor perbankan, pemerintah daerah, swasta dan organisasi masyarakat.
Hingga akhirnya perkembangan penggunaan QRIS di daerah, khususnya di Sulawesi Selatan pada Februari 2025 sudah mencapai 7,87 juta transaksi atau tumbuh sekitar 134,42 persen secara tahunan (year on year).
Menurut Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulsel Rizki Ernadi Wimanda, pada periode yang sama peningkatan volume transaksi itu juga diikuti nilai transaksi QRIS yang tercatat Rp967,3 miliar atau naik 111,46 persen (yoy).
Sementara implementasi QRIS sepanjang 2024 menunjukkan kinerja positif dengan jumlah pengguna mencapai 55,42 juta dan merchant sebanyak 35,85 juta.
Capain tersebut tidak terlepas dari peran aktif pihak perbankan dan "smart citizen" dalam mengedukasi dan mendorong masyarakat serta pelaku usaha untuk melek ekonomi dan adaptif dengan perubahan di lapangan. Masyarakat pun diajak familiar dengan transaksi digital dan memanfaatkannya untuk kegiatan produktif yang mendorong pertumbuhan ekonomi setelah masa COVID-19.
Inovasi berikutnya adalah penerapan QRIS TAP yang diluncurkan Bank Indonesia dengan penerapan QRIS Tap melalui Near Refill Communication (NFC). Layanan transaksi digital ini umumnya digunakan di sektor transportasi, ritel, parkir dan layanan publik lainnya. Termasuk peluncuran aplikasi "mobile banking" oleh masing-masing bank untuk memudahkan nasabahnya bertransaksi.
Melek ekonomi dan adaptif
Tingginya volume transaksi dan pengguna QRIS, tidaklah cukup tanpa dibarengi dengan edukasi, literasi dan inklusi keuangan, agar masyarakat dapat melek ekonomi.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Mkassar Prof Dr Marzuki, DEA mengatakan, tren penggunaan QRIS atau QRIS TAP sebagai bagian dari gaya hidup smart citizen, bukan jaminan dapat melek ekonomi. Karena itu, pentingnya edukasi di sini untuk memahami hal-hal yang paling mendasar terkait perkembangan ekonomi.
Dia mengatakan, pemahaman mendasar terkait ekonomi itu adalah inflasi, suku bunga, nilai tukar, investasi yang aman hingga mengatur keuangan, agar tidak terjebak dengan investasi bodong ataupun pinjaman online (pinjol) yang mencekik.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) Tahun 2024 menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 65,43 persen dan indeks inklusi keuangan sebesar 75,02 persen.
Cerminan kondisi literasi dan inklusi keuangan yang masih terpaut jauh presentasinya ditingkat nasional, umumnya juga terjadi di daerah, termasuk di Sulsel.
Hal tersebut sempat menjadi sorotan Sekretaris Daerah Provinsi Sulsel H Jufri Rahman.
Dia mengatakan, SNLIK Tahun 2024 itu menunjukkan pengetahuan masyarakat masih sedikit, tetapi sudah banyak yang bisa mengakses perbankan. Ini artinya, masyarakat sudah berani mengambil barang, namun tidak tahu menggunakannya, sehingga ada yang terlibat pinjol atau judi online, karena ketidaktahuan bahaya atau dampak negatifnya.
Menyikapi hal tersebut, BI Sulsel, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulselbar bersama dan Pemprov Sulsel berkolaborasi menggencarkan layanan literasi dan inklusi keuangan ke daerah ku (Layarku). Termasuk mendorong Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) di 24 kabupaten/kota di Sulsel.
Tagline Layarku itu juga menjadi motivasi bagi "pentahelix" untuk terus mendorong pencapaian target literasi keuangan sebesar 90 persen pada Indonesia Emas 2045. Tentu mencapai itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun dengan tekad dan kerja sama yang solid, masyarakat melek ekonomi dan adaptif menghadapi perubahan optimistis dapat terwujud.
