"Ketiga situs megalitik ini ditemukan di pulau Mantai merupakan salah satu dari 21 pulau yang berada di tengah Danau Sentani. Situs ini berada di koordinat 020 36' 23,4" LS dan 1400 26' 22,7' BT," kata Hari Suroto, staf peneliti dari Balai Arkeologi Jayapura, Papua, Minggu.
Menurut pria alumnus jurusan Arkeolog Universitas Udayana ini, untuk menjangkau pulau tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan "long boat" atau perahu bermesin dari dermaga Kampung Toware selama kurang lebih 20 menit ke arah Kampung Kwadeware, distrik Waibu. Yang mana pulau tersebut berbentuk bulat, tidak berpenghuni dan hanya dijadikan sebagai tempat berkebun.
"Di pesisir Pulau Mantai dulunya pernah berdiri dua perkampungan yaitu Manukandaro di selatan dan Huikanjero di bagian timur, namun kedua kampung tersebut telah habis terbakar dan masyarakatnya sudah berpindah lokasi pemukiman ke daratan," katanya.
Situs di Pulau Mantai merupakan situs terbuka, kata Hari, pada situs ini ditemukan sejumlah materi arkeologi berupa fragmen gerabah hias maupun polos dan beberapa bangunan megalitik berupa sejumlah menhir dalam berbagai ukuran baik yang berada di dalam danau maupun yang berada di pulau.
"Gerabah di Pulau Mantai didapatkan di permukaan tanah, namun kondisi situs tersebut sudah teraduk oleh aktivitas berkebun," katanya.
Adapun atau batu beranak tersebut berjumlah 12 buah, yang terdiri dari 2 buah yang berukuran besar yang dipercayai sebagai laki-laki dan perempuan dewasa. Dan 10 buah yang berukuran kecil dipercayai sebagai anak-anaknya, sehingga semuanya dikenal dengan nama batu beranak. Namun pada penelitian yang dilakukan pada Juli lalu, pihaknya hanya dapat menggambil gambar bagian atas menhir yang berukuran besar yang terlihat.
"Karena pada saat itu kondisi permukaan air danau sedang pasang dan peralatan yang digunakan kurang memadai sehingga kami tidak melakukan penyelaman untuk mendokumentasi semua menhir yang ada, serta tidak melakukan pengukuran pengukuran kami hanya menduga tingginya sekitar 3 meter," kata Hari dan menambahkan jka ditinjau dari jenis batuannya tergolong ke dalam jenis batuan beku.
Untuk batu Rejeki atau "Marew" ditemukan kira-kira 10 meter dari arah batu beranak, dimana terdapat bongkah batu besar yang sebagiannya tertancap di Pulau Mantai dan sebagian lagi ke danau atau tepatnya batu ini berada di tepi danau pulai itu.
Batu marew dipercaya sebagai batu rejeki oleh warga sekitar pulau, sehingga apabila ada orang yang hendak berburu atau mencari ikan biasanya datang membawa sesaji berupa kapur, pinang dan siirih ke batu tersebut untuk meminta berkat.
"Warga setempat percaya, jika dalam suatu kegiatan mencari makanan dan mereka tidak mendapat apapun, ini disebabkan kemarahan batu ini, sehingga warga harus memberikan sesaji agar dapat murah rejeki kembali," katanya.
"Pada penelitian ini, sama halnya dengan batu Beranak, kami hanya dapat menggambil gambar bongkah batu bagian atasnya dan tidak melakukan pengukuran, karena pada saat itu kondisi permukaan air danau naik dan menutupi hampir semua permukaan batu. Adapun jenis batuannya adalah batuan beku," lanjut pria jebolan SMUN Pleret, Bantul, Yogyakarta.
Sedangkan untuk penemuan Batu perang, juga tak jauh dari baru Beranak dan Batu Rejeki. Berjarak sekitar 200 meter dari arah bongkah batu besar ke daratan Pulau Mantai, dan ditemukan 2 buah menhir yang berada dalam posisi melintang dan berdekatan.
Namun salah satunya dalam kondisi patah. Dan pada kedua menhir tersebut terdapat lubang-lubang kecil yang diperkirakan sebagai akibat dari sentakan unjung-ujung tombak dari para prajurit perang saat melakukan ritual perang, agar mereka memperoleh kemenangan.
"Oleh warga setempat, batu ini biasanya dijadikan tempat ritual atau sembahyang agar bisa menang dalam perang," jelasnya.

