Andhi Pramono mengajukan banding atas vonis 10 tahun penjara
Jakarta (ANTARA) - Mantan Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar, Sulawesi Selatan, Andhi Pramono mengajukan banding atas vonis 10 tahun penjara dalam kasus penerimaan gratifikasi di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
"Terima kasih Yang Mulia, insyaallah saya akan melakukan banding," kata Andhi Pramono menjawab pertanyaan Hakim Ketua Djuyamto dalam sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu atas vonis tersebut.
"Dengan demikian, pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Andhi Pramono telah selesai, sidang ditutup," kata Djuyamto menutup persidangan.
Ditemui usai sidang, penasihat hukum Andhi Pramono, Eddhi Sutarto, mengatakan pengajuan banding tersebut merupakan bentuk pemenuhan hak hukum kliennya.
Dia mengatakan pokok-pokok banding nantinya akan tetap pada nota pembelaan atau pleidoi di persidangan.
"Banding kita tetap untuk terkait dengan pleidoi sambungannya dan hal-hal lain yang terkait," kata Eddhi.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum terdakwa Andhi Pramono dengan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp1 miliar, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Andhi Pramono terbukti menerima gratifikasi dan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
"Menyatakan terdakwa Andhi Pramono telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan penuntut umum," kata Djuyamto membacakan amar putusan.
Dalam menjatuhkan putusan, majelis hakim mempertimbangkan hal memberatkan bahwa perbuatan Andhi Pramono telah mengurangi kepercayaan publik atau masyarakat terhadap institusi tempat dia bekerja. Selain itu, Andhi juga tidak mengakui perbuatannya.
"Terdakwa tidak membantu program pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi," imbuh Djuyamto.
Sementara itu, hal-hal meringankan yang turut dipertimbangkan, antara lain Andhi Pramono berlaku sopan di persidangan dan belum pernah dihukum sebelumnya.
Dalam perkara ini, Andhi Pramono terbukti menerima gratifikasi dengan total sejumlah Rp58,9 miliar dari sejumlah pihak saat menjabat sejumlah posisi strategis di Ditjen Bea dan Cukai.
Jumlah tersebut terdiri atas mata uang rupiah maupun mata uang asing, yakni Rp50.286.275.189,79, kemudian 264,500 dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp3.800.871.000,00, serta 409,000 dolar Singapura atau setara dengan Rp4.886.970.000,00.
Vonis majelis hakim lebih rendah dibanding tuntutan JPU komisi antirasuah. Sebelumnya, ia dituntut 10 tahun dan tiga bulan penjara serta denda Rp1 miliar subsider enam bulan.
"Terima kasih Yang Mulia, insyaallah saya akan melakukan banding," kata Andhi Pramono menjawab pertanyaan Hakim Ketua Djuyamto dalam sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan pikir-pikir terlebih dahulu atas vonis tersebut.
"Dengan demikian, pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Andhi Pramono telah selesai, sidang ditutup," kata Djuyamto menutup persidangan.
Ditemui usai sidang, penasihat hukum Andhi Pramono, Eddhi Sutarto, mengatakan pengajuan banding tersebut merupakan bentuk pemenuhan hak hukum kliennya.
Dia mengatakan pokok-pokok banding nantinya akan tetap pada nota pembelaan atau pleidoi di persidangan.
"Banding kita tetap untuk terkait dengan pleidoi sambungannya dan hal-hal lain yang terkait," kata Eddhi.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum terdakwa Andhi Pramono dengan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp1 miliar, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Andhi Pramono terbukti menerima gratifikasi dan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
"Menyatakan terdakwa Andhi Pramono telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan penuntut umum," kata Djuyamto membacakan amar putusan.
Dalam menjatuhkan putusan, majelis hakim mempertimbangkan hal memberatkan bahwa perbuatan Andhi Pramono telah mengurangi kepercayaan publik atau masyarakat terhadap institusi tempat dia bekerja. Selain itu, Andhi juga tidak mengakui perbuatannya.
"Terdakwa tidak membantu program pemerintah dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi," imbuh Djuyamto.
Sementara itu, hal-hal meringankan yang turut dipertimbangkan, antara lain Andhi Pramono berlaku sopan di persidangan dan belum pernah dihukum sebelumnya.
Dalam perkara ini, Andhi Pramono terbukti menerima gratifikasi dengan total sejumlah Rp58,9 miliar dari sejumlah pihak saat menjabat sejumlah posisi strategis di Ditjen Bea dan Cukai.
Jumlah tersebut terdiri atas mata uang rupiah maupun mata uang asing, yakni Rp50.286.275.189,79, kemudian 264,500 dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp3.800.871.000,00, serta 409,000 dolar Singapura atau setara dengan Rp4.886.970.000,00.
Vonis majelis hakim lebih rendah dibanding tuntutan JPU komisi antirasuah. Sebelumnya, ia dituntut 10 tahun dan tiga bulan penjara serta denda Rp1 miliar subsider enam bulan.