Makassar (ANTARA) - Penyidik Polrestabes Makassar akhirnya menahan seorang guru Sekolah Luar Biasa (SLB) inisial A (34) atas dugaan rudapaksa terhadap seorang siswi penyandang disabilitas di sekolah Laniang, Kecamatan Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan.
"Sudah ditahan. (oknum guru), iya. Dikenakan Undang-undang perlindungan anak, pasal 76D," kata Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Mokh Ngajib menjawab pertanyaan wartawan di Makassar, Selasa.
Ia mengatakan penyidik merujuk pada Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dikutip dalam pasal 76D disebutkan, Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Untuk sanksi pidananya di atur di pasal 81 ayat (1), setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Selanjutnya ayat (2) ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Secara terpisah, kuasa hukum korban inisial T (15) dari LBH Makassar Ambara Dewita Purnama dalam keterangannya menyampaikan bahwa tindakan kekerasan seksual yang diduga dilakukan guru di SLB tersebut menambah catatan buruk tindakan kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan.
"Ini juga memperlihatkan bahwa bahkan di institusi pendidikan tidak ada jaminan ruang aman dari tindakan kekerasan seksual," tutur Ambara.
Dari laporan kronologi yang disampaikan pihak keluarga korban inisial HN (27), bahwa keponakannya (penyandang tuna rungu) diketahui sedang menangis histeris di depan kamar. Setelah dikonfirmasi, ternyata korban telah mengalami kekerasan seksual di sekolahnya dilakukan seorang laki-laki dengan ciri berkulit hitam.
Korban mengaku sempat berusaha lari namun ditarik oleh pelaku, sehingga terdapat bekas cakaran di lengan kiri korban. Selain itu, korban bahkan telah beberapa kali mengalami kekerasan seksual rudapaksa dengan pelaku yang sama, diduga dilakukan di toilet sekolah.
Pada 12 November 2024 korban beserta keluarganya berupaya menemui pihak sekolah dan berhasil bertemu dengan terduga pelaku setelah dihubungi kepala sekolah, karena korban menunjuk tasnya berada di dalam ruangan tersebut, namun terduga pelaku membantah dan pihak sekolah terkesan melindunginya.
Pihak keluarga korban akhirnya melaporkan tindak pidana kekerasan seksual ke Polrestabes Makassar agar dapat ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Bila merujuk kronologi, terduga pelaku telah memenuhi unsur tindak pidana kekerasan seksual diduga lebih dari satu kali. Terduga pelaku telah dilaporkan ke pihak kepolisian menggunakan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Kita harus bersikap serius terhadap pengawalan kasus, dengan melibatkan seluruh jaringan pendukung. Hal penting juga, memastikan keadilan dan pemulihan bagi anak perempuan disabilitas sebagai korban," kata Ambarita.