Makassar (ANTARA) - Menarik ke belakang tentang komitmen Indonesia masuk dalam perdagangan internasional, pada 1994 telah ditandatangani komitmen bergabung dalam World Trade Organization (WTO) dan pada 2015 bergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang artinya Indonesia siap bersaing dengan pasar global.
Kondisi itu menggiring masyarakat Indonesia suka atau tidak suka, terpaksa harus berkompetisi secara sehat dengan negara lainnya, khususnya negara tetangga melalui persaingan yang sesuai standar (ISO) dan dapat terukur.
Pernyataan tersebut dikemukakan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Selatan (KPw BI Sulsel) Bambang Kusmiarso disela kegiatan Pekan Ekonomi Syariah 2019 yang digelar di Makassar pada 16 - 18 Agustus 2019.
Bambang mengatakan, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam juga dituntut untuk melek perkembangan global ekonomi Islam di dunia yang terus berkembang pesat.
Hal itu tergambar dari The State of Global Islamic Economy Report 2018/2019 yang mencatat pangsa pasar ekonomi islam dunia pada 2017 mencapai USD2,1 miliar, dan nilai ini diproyeksikan akan meningkat menjadi USD3,01 miliar pada tahun 2023.
Besarnya market size ini ditandai dengan meningkatnya makanan halal sebesar 6,1 persen dan diproyeksikan akan mencapai USD1,9 miliar pada 2023.
Demikian pula dengan fesyen muslim yang diproyeksikan akan meningkat dari USD279 miliar pada 2017 menjadi USD361 miliar USD pada 2023.
Dalam laporan yang sama, pada 2018 Indonesia berhasil menduduki peringkat 10, mengalahkan Brunei Darussalam dan Bangladesh yang didorong oleh peningkatan ranking dalam halal food ranking. Hal ini menunjukkan hasil yang baik dari upaya pengembangan Ekonomi Islam khususnya di bidang makanan dan minuman.
Hanya saja peningkatan ranking tersebut belum mampu membuat Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara dengan ekosistem terbaik di bidang makanan halal. Pada bidang makanan halal Indonesia menempati peringkat 11, berada di bawah UAE, Malaysia dan negara Timur Tengah lainnya, bahkan juga kalah dari Australia yang berada pada peringkat 6 yang justru bukan negara mayoritas muslim.
Nilai ekspor Indonesia untuk produk halal memang paling besar dibandingkan negara mayoritas Islam lainnya dengan total ekspor pada tahun 2017 mencapai USD7,6 miliar. Namun nilai tersebut, hanya berkontribusi sebesar 3,3% dari total ekspor produk halal global pada 2017 (USD249 miliar) yang didominasi oleh ekspor negara non mayoritas muslim seperti Brazil, Amerika, India, China dan Perancis.
Indonesia juga belum masuk ke dalam 10 besar negara dengan ekosistem terbaik dalam ketegori halal media and recreation dan halal pharmaceuticals and cosmetics.
Mencermati kondisi tersebut, melalui momentum Pekan Ekonomi Syariah ini, Bank Indonesia mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersinergi dan berkolaborasi dalam upaya mengembangkan ekonomi regional berbasis syariah.
Gagasan itu disambut baik Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama Prof Ir Sukoso yang turut hadir sebagai pembicara pada rangkaian kegiatan Pekan Ekonomi Syariah 2019 di Makassar.
Menurut Sukoso, salah satu bagian dari ekonomi syariah itu adalah pengesahan halal. Sementara sejarah halal di Indonesia berawal ketika tahun 1988 Prof Dr Tri Susanto, M.App.Sc dari Universitas Brawijaya menemukan produk turunan dari babi seperti gelatin maupun lemak babi dalam makanan dan minuman yang menjadi masalah nasional, penjualan produk mengalami penurunan sebesar 20-30 persen.
Selanjutnya pada 1989 Majelis Ulama Indonesia (MUI) memecahkan masalah tersebut dengan mendirikan lembaga untuk studi tentang makanan dan obat-obatan yang dikenal LPPOM-MUI dan tahun yang sama sertifikasi halal bersifat sukarela.
Beberapa tahun berselang yakni 2001 terjadi Skandal Ajinomoto bumbu masak yang mengandung lemak babi, sehingga pada 17 Oktober 2014 terbitlah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal di sahkan oleh Presiden RI.
Legalisasi itu kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 2019 yang akan diikuti oleh Peraturan Menteri Agama yang masih dalam proses.
"Pada 17 Oktober 2019 nanti sudah Wajib untuk Sertifikasi Halal sesuai Pasal 4, Undang-Undang No 33 Tahun 2014," kata Sukoso.
Menurut dia, lembaga yang dapat mengeluarkan sertfikasi halal itu perguruan tinggi setempat yang sudah bekerjasama dengan BPJPH misalnya di Makassar dengan Universitas Bosowa, Universitas Muslim Indonesia dan universitas Hasanuddin.
Sementara potensi pengembangan ekonomi syariah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional ini seperti negara tetangga Malaysia, Thailand dan Filipina, lanjut dia, Sekitar 30 ribu pondok pesantren yang tersebar di Indonesia dapat menjadi lembaga pendorong ekonomi syariah, apabila diberikan kurikulum tentang ekonomi syariah dan menyiapkan sumber daya manusianya.
Semua potensi itu harus dapat dikelola dengan baik sehingga Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dan minimal sejajar dengan negara tetangga yang sudah lebih awal menerapkan ekonomi syariah dan turunannya berupa produk-produk dan wisata halal.
Sulsel Potensial
Sulawesi Selatan yang merupakan hub daerah Kawasan Timur Indonesia (KTI) memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi yang selalu berada diatas 7 persen atau diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, diyakini memiliki prospek yang cerah mengembangkan ekonomi syariah.
"Apatah lagi, penduduk Sulsel yang sekitar 9 juta jiwa itu mayoritas adalah muslim, sehingga sangat potensial mengembangkan ekonomi syariah," kata Wakil Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman.
Dengan disahkannya Ranperda itu nanti, lanjut dia, produk di Sulsel akan tersertifikasi halal dan bagi UKM mendapatkan keringanan berupa pembebasan biaya sertifikasi halal yang selama ini menjadi momok bagi produsen lokal, karena menganggap sertifikasi halal sangat mahal sedikitnya membutuhkan dana Rp2 juta.
Mengenai Ranperda tersebut, Anggota Tim Penyusunan Naskah Akademik Ranperda Pembinaan dan Pengawasan Produk Halal Dr Ruslan Renggong mengatakan dalam proses penyelesaian dan jelang akhir Agustus 2019 diyakni sudah ketuk palu.
Apabila Ranperda itu sudah disahkan, tentu akan mengawal instruksi pemerintah wajib sertifikasi halal pada Oktober 2019.
Sulsel sendiri merupakan daerah yang memiliki potensi dan keunggulan untuk mengembangkan ekonomi halal. Kendati diakui masih ada beberapa kendala dalam pengembangan produk halal, diantaranya adalah belum tercapainya kesadaran kolektif untuk menjadikan produk halal, baik dari sisi produsen maupun konsumen, dalam memenuhi tuntutan kehalalan dalam perspektif agama dan hambatan biaya bagi sertifikasi untuk UMKM.
Asisten Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia Yono Haryono mengatakan, pengembangan industri atau produk halal di Sulsel sangat besar, karena dapat mengembangkan wisata halal dengan dua ikon wisata yang sudah terkenal hingga mancanegara yakni Pantai Bira di Bulukumba dan Tana Toraja dengan wisata alam dan budayanya.
Belum lagi potensi lainnya, misalnya produk pangan dan nopangan andalan ekspor, kosmetik halal, keuangan syariah, media dan rekreasi serta makanan halal, karena Makassar terkenal sebagai surga wisata kuliner juga.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel Anggiat Sinaga membenarkan hal itu. Dia mengungkapkan tingkat okupansi hunian hotel di Makassar yang turun hingga 20 persen belakangan ini, dapat dibangkitkan kembali dengan menghadirkan hotel syariah untuk mendukung wisata halal.
Bercermin dengan negara tetangga, lanjut dia, Thailand dan Filipina yang penduduknya minoritas muslim ternyata dapat meningkatkan ekonominya 20 - 30 persen dengan menghadirkan wisata halal di negaranya.
Berkaitan dengan hal itu, Kepala Grup Advisory dan Pengembangan Ekonomi KpW Bank Indonesia Sulawesi Selatan Endang Kurnia Saputra pada penutupan Pekan Ekonomi Syariah 2019 mengatakan, ke depan semua potensi yang dibungkus dalam ekonomi syariah itu akan menjadi primadona di Indonesia.
"Kami mendorong perkembangan ekonomi syariah di Sulsel tak hanya itu, kami juga mendorong ekonomi syariah di seluruh Indonesia agar menjadi primadona di nusantara ini," ujar Endang.
Sementara salah seorang Duta Pekan Ekonomi Syariah 2019 Anggun Aisyah mengaku sangat bersyukur mendapatkan amanah untuk mewakili Sulsel ke kegiatan PES di Kalimantan Selatan untuk menyosialisasikan produk-produk syariah pada masyarakat. Termasuk menyosialisasikan pentingnya ekonomi syariah ini dalam mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial.
Kini, satu per satu properti stand pameran Pekan Ekonomi Syariah 2019 sudah dikemasi seiring penutupan Pekan Ekonomi Syariah yang telah menyedot perhatian ribuan pengunjung mal ternama di Makassar dalam tiga hari terakhir.
Namun, itu bukan pertanda bahwa perjuangan mengembangkan ekonomi syariah pun sudah berakhir, melainkan baru titik awal untuk bahu-membahu merealisasikan ekonomi syariahdi bumi tercinta ini.
Duta Pekan Ekonomi Syariah ini mengatakan, dirinya sangat bersyukur dengan terpilihnya ia dapat mensosialisasikan produk-produk syariah kepada masyarakat.