"Mama Yo" Sang Perempuan dari Timur pendobrak sejarah
Mama Yo siapa yang punya? Mama Yo siapa yang punya? Mama Yo siapa yang punya? Yang punya kita semua
Jakarta (ANTARA) - "Mama Yo siapa yang punya? Mama Yo siapa yang punya? Mama Yo siapa yang punya? Yang punya kita semua".
Lirik lagu tersebut selalu didendangkan anak-anak di seluruh Indonesia setiap kali Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise berkunjung atau hadir dalam acara-acara yang melibatkan anak.
Sebagai Menteri yang membidangi pelindungan anak, Yohana memang ditempatkan sebagai ibu bagi seluruh anak-anak di Indonesia, meskipun dia berupaya merendah bahwa lagu yang dinyanyikan anak-anak itu diajarkan oleh para deputinya di Kementerian.
"Itu anak-anak pasti diajari oleh Ibu Lenny dan Pak Nahar," kata Yohana merujuk pada Deputi Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin dan Deputi Pelindungan Anak Nahar.
Yohana mengatakan sebutan "Mama" merupakan panggilan yang wajar bagi seorang ibu di Papua, tempat asalnya. Sedangkan "Yo" merupakan nama panggilannya. Sebagai anak perempuan tertua di keluarganya, adik-adiknya biasa memanggilnya "Kakak Yo".
Yohana Susana Yembise. Nama itu terbilang mengejutkan saat Presiden Joko Widodo mengumumkannya sebagai salah satu menteri di dalam Kabinet Kerja. Saat itu, Minggu, 26 Oktober 2014 di halaman belakang Istana Merdeka, Yohana diumumkan sebagai menteri ke-30 dalam Kabinet Kerja.
"Tiga puluh. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ibu Yohana Yembise. Beliau ini adalah profesor, guru besar perempuan pertama dari Papua. Aktif dalam gerakan masyarakat marjinal dan pelindungan anak," kata Presiden Joko Widodo saat itu ketika memperkenalkan Yohana sebagai salah satu menterinya, sebagaimana dikutip dari buku "Dunia Yohana, Inspirasi dari Ufuk Timur".
Menjadi menteri barangkali tidak pernah terbayang dalam benak Yohana. Meskipun berhasil menjadi profesor perempuan pertama dari Papua di Universitas Cenderawasih, Yohana sama sekali tidak pernah punya pengalaman di birokrasi.
Pengalaman politik pertama dan satu-satunya yang pernah dia alami adalah ketika bersaing dalam Pemilihan Bupati Biak 2013, berpasangan dengan Frits G Senandi, melalui jalur perseorangan. Yohana, yang pada saat itu sudah aktif dalam berbagai organisasi dan pusat studi tentang perempuan, memiliki motivasi agar Kabupaten Biak menjadi lebih maju dan membuktikan bahwa perempuan bisa membuat perempuan
Kalah dalam pemilihan bupati, apalagi dengan perolehan suara terendah, Yohana sama sekali tidak berpikir akan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Saat tahu bahwa dia dipilih sebagai menteri, dia bahkan merasa khawatir akan terjadi penolakan dari masyarakat Papua karena namanya saat itu sama sekali tidak masuk dalam bursa calon menteri dari Papua yang diperbincangkan.
Apalagi, dia berasal dari Papua, sebuah daerah yang memiliki adat patriarki sangat kuat yang kerap kali menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki.
"Kalau saya minta izin tokoh-tokoh adat Papua untuk menjadi menteri, tentu tidak diizinkan. Namun, ini Presiden Joko Widodo yang orang Jawa yang memilih saya," batin Yohana ketika menguatkan tekad untuk menerima amanat.
Keteguhan hati Yohana untuk menerima jabatan sebagai menteri itu berbuah manis. Program awal yang dia canangkan adalah "Three Ends" yang berarti "Tiga Akhiri", yaitu mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengakhiri perdagangan manusia, dan mengakhiri kesenjangan ekonomi.
Dengan jargon "Three Ends" itulah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjalankan tugas-tugasnya, diantaranya adalah melalui program Industri Rumahan untuk memberdayakan perekonomian perempuan. Dalam program Kabupaten/Kota Layak Anak, hingga 2019 sudah ada 435 kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang mengembangkan konsep sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak.
Beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan pelindungan anak juga berhasil dicatatkan saat Yohana menjadi Menteri. Yang pertama adalah revisi kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 yang kemudian lebih dikenal sebagai Perppu Kebiri karena mengatur tambahan hukuman berupa kebiri kimiawi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak
Saat praktik-praktik perkawinan anak mencuat di beberapa daerah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di bawah kepemimpinan Yohana bersama berbagai organisasi pemerhati anak menyuarakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan perkawinan boleh dilakukan oleh laki-laki berusia 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun.
Batas usia kawin 16 tahun bagi perempuan tersebut menjadi masalah karena menurut Undang-Undang Pelindungan Anak, batasan usia anak adalah 18 tahun. Bila perempuan menikah pada usia 16 tahun, maka dia masih tergolong anak-anak.
Aspirasi untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan itu kemudian mendapat tanggapan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengeluarkan putusan agar pembuat undang-undang, pemerintah dan DPR, merevisi Undang-Undang tersebut berdasarkan asas persamaan, yaitu tidak boleh ada perbedaan batas usia kawin bagi laki-laki dan perempuan.
Pemerintah dan DPR akhirnya setuju batas usia kawin laki-laki dan perempuan akhirnya disamakan menjadi 19 tahun dalam rapat paripurna DPR pada Senin, 16 September 2019 dan revisi Undang-Undang mulai diundangkan tepat satu bulan kemudian pada Selasa, 15 Oktober 2019 melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan seolah menjadi warisan dari Yohana bagi seluruh anak Indonesia karena disahkan pada waktu-waktu terakhirnya menjabat sebagai menteri.
Pasalnya, Minggu (20/10), Joko Widodo dan pasangan barunya, KH Ma'ruf Amin, akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden berikutnya. Itu berarti, Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin akan membentuk kabinet baru. Bisa saja Yohana dipilih kembali sebagai menteri, tetapi bisa saja tidak.
Ketika ditanya hal apa yang belum tercapai hingga akhir jabatannya sebagai Menteri, Yohana mengatakan masih belum berhasil menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual bersama DPR periode 2014-2019.
Saat ditanya apakah ingin kembali menjadi Menteri untuk menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Yohana hanya memberikan jawaban yang diplomatis.
"Saya serahkan kepada Tuhan. Saya sendiri bukan seorang yang berambisi untuk menjadi menteri," ujarnya.
Lirik lagu tersebut selalu didendangkan anak-anak di seluruh Indonesia setiap kali Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise berkunjung atau hadir dalam acara-acara yang melibatkan anak.
Sebagai Menteri yang membidangi pelindungan anak, Yohana memang ditempatkan sebagai ibu bagi seluruh anak-anak di Indonesia, meskipun dia berupaya merendah bahwa lagu yang dinyanyikan anak-anak itu diajarkan oleh para deputinya di Kementerian.
"Itu anak-anak pasti diajari oleh Ibu Lenny dan Pak Nahar," kata Yohana merujuk pada Deputi Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin dan Deputi Pelindungan Anak Nahar.
Yohana mengatakan sebutan "Mama" merupakan panggilan yang wajar bagi seorang ibu di Papua, tempat asalnya. Sedangkan "Yo" merupakan nama panggilannya. Sebagai anak perempuan tertua di keluarganya, adik-adiknya biasa memanggilnya "Kakak Yo".
Yohana Susana Yembise. Nama itu terbilang mengejutkan saat Presiden Joko Widodo mengumumkannya sebagai salah satu menteri di dalam Kabinet Kerja. Saat itu, Minggu, 26 Oktober 2014 di halaman belakang Istana Merdeka, Yohana diumumkan sebagai menteri ke-30 dalam Kabinet Kerja.
"Tiga puluh. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ibu Yohana Yembise. Beliau ini adalah profesor, guru besar perempuan pertama dari Papua. Aktif dalam gerakan masyarakat marjinal dan pelindungan anak," kata Presiden Joko Widodo saat itu ketika memperkenalkan Yohana sebagai salah satu menterinya, sebagaimana dikutip dari buku "Dunia Yohana, Inspirasi dari Ufuk Timur".
Menjadi menteri barangkali tidak pernah terbayang dalam benak Yohana. Meskipun berhasil menjadi profesor perempuan pertama dari Papua di Universitas Cenderawasih, Yohana sama sekali tidak pernah punya pengalaman di birokrasi.
Pengalaman politik pertama dan satu-satunya yang pernah dia alami adalah ketika bersaing dalam Pemilihan Bupati Biak 2013, berpasangan dengan Frits G Senandi, melalui jalur perseorangan. Yohana, yang pada saat itu sudah aktif dalam berbagai organisasi dan pusat studi tentang perempuan, memiliki motivasi agar Kabupaten Biak menjadi lebih maju dan membuktikan bahwa perempuan bisa membuat perempuan
Kalah dalam pemilihan bupati, apalagi dengan perolehan suara terendah, Yohana sama sekali tidak berpikir akan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Saat tahu bahwa dia dipilih sebagai menteri, dia bahkan merasa khawatir akan terjadi penolakan dari masyarakat Papua karena namanya saat itu sama sekali tidak masuk dalam bursa calon menteri dari Papua yang diperbincangkan.
Apalagi, dia berasal dari Papua, sebuah daerah yang memiliki adat patriarki sangat kuat yang kerap kali menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki.
"Kalau saya minta izin tokoh-tokoh adat Papua untuk menjadi menteri, tentu tidak diizinkan. Namun, ini Presiden Joko Widodo yang orang Jawa yang memilih saya," batin Yohana ketika menguatkan tekad untuk menerima amanat.
Keteguhan hati Yohana untuk menerima jabatan sebagai menteri itu berbuah manis. Program awal yang dia canangkan adalah "Three Ends" yang berarti "Tiga Akhiri", yaitu mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengakhiri perdagangan manusia, dan mengakhiri kesenjangan ekonomi.
Dengan jargon "Three Ends" itulah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjalankan tugas-tugasnya, diantaranya adalah melalui program Industri Rumahan untuk memberdayakan perekonomian perempuan. Dalam program Kabupaten/Kota Layak Anak, hingga 2019 sudah ada 435 kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang mengembangkan konsep sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak.
Beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pemenuhan hak dan pelindungan anak juga berhasil dicatatkan saat Yohana menjadi Menteri. Yang pertama adalah revisi kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 yang kemudian lebih dikenal sebagai Perppu Kebiri karena mengatur tambahan hukuman berupa kebiri kimiawi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak
Saat praktik-praktik perkawinan anak mencuat di beberapa daerah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di bawah kepemimpinan Yohana bersama berbagai organisasi pemerhati anak menyuarakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan perkawinan boleh dilakukan oleh laki-laki berusia 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun.
Batas usia kawin 16 tahun bagi perempuan tersebut menjadi masalah karena menurut Undang-Undang Pelindungan Anak, batasan usia anak adalah 18 tahun. Bila perempuan menikah pada usia 16 tahun, maka dia masih tergolong anak-anak.
Aspirasi untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan itu kemudian mendapat tanggapan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengeluarkan putusan agar pembuat undang-undang, pemerintah dan DPR, merevisi Undang-Undang tersebut berdasarkan asas persamaan, yaitu tidak boleh ada perbedaan batas usia kawin bagi laki-laki dan perempuan.
Pemerintah dan DPR akhirnya setuju batas usia kawin laki-laki dan perempuan akhirnya disamakan menjadi 19 tahun dalam rapat paripurna DPR pada Senin, 16 September 2019 dan revisi Undang-Undang mulai diundangkan tepat satu bulan kemudian pada Selasa, 15 Oktober 2019 melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan seolah menjadi warisan dari Yohana bagi seluruh anak Indonesia karena disahkan pada waktu-waktu terakhirnya menjabat sebagai menteri.
Pasalnya, Minggu (20/10), Joko Widodo dan pasangan barunya, KH Ma'ruf Amin, akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden berikutnya. Itu berarti, Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin akan membentuk kabinet baru. Bisa saja Yohana dipilih kembali sebagai menteri, tetapi bisa saja tidak.
Ketika ditanya hal apa yang belum tercapai hingga akhir jabatannya sebagai Menteri, Yohana mengatakan masih belum berhasil menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual bersama DPR periode 2014-2019.
Saat ditanya apakah ingin kembali menjadi Menteri untuk menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Yohana hanya memberikan jawaban yang diplomatis.
"Saya serahkan kepada Tuhan. Saya sendiri bukan seorang yang berambisi untuk menjadi menteri," ujarnya.