Ambon (ANTARA Sulsel) - Nuansa adat-istiadat mewarnai prosesi pembuatan dan pengambilan api untuk menyalakan obor Pattimura di Puncak Gunung Saniri, Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Kamis (14/5).
Prosesi pembuatan dan pengambilan api secara tradisional itu dipimpin langsung Kepala Adat Desa Tuhaha, Max Aipassa bersama anggota dewan adatnya, di puncak Gunung Saniri dengan ketinggian sekitar 250 meter di atas permukaan laut.
Gunung Saniri merupakan puncak gunung tertinggi di Pulau Saparua dan merupakan tempat pertemuan dan musyawarah besar yang dilakukan para pejuang dan tokoh-tokoh dari Pulau Saparua, Haruku dan Nusalaut.
Di tempat itulah, pada 14 Mei 1817 para tokoh dan pejuang Maluku sepakat mengangkat Thomas Matulessy sebagai panglima perang dan memberinya gelar Kapitan Pattimura, untuk melawan penjajahan Kolonial Belanda saat itu.
Prosesi pembuatan dan pengambilan api dihadiri dan disaksikan seluruh Raja dan Kepala Adat Pulau Saparua, ribuan masyarakat setempat maupun dari Kota Ambon, serta Wakil Wali Kota Vlisingen, Provinsi Zeeland Belanda, Fransiscus Prins dan beberapa stafnya.
Dewan Saniri Desa Tuhaha selama ini lebih berhak menyelenggarakan prosesi pengambilan dan pembuatan api untuk menyalakan obor Pattimura, karena gunung Saniri merupakan wilayah petuanan Desa Tuhaha.
Dalam acara itu para raja dan kepala adat mengenakan pakaian tradisional yang didominasi warna merah dan hitam, begitupun sebagian besar masyarakat Pulau Saparua.
Mereka juga membawa parang dan salawaku (tameng-red).
Masyarakat terlihat histeris saat menarikan tarian "cakalele" (tari perang-red) sambil bernyanyi dalam bahasa daerah setempat, diiringi tabuhan suara tifa dan tiupan tahuri (kulit bia).
Sebelumnya, Kepala Adat Max Aipassa bersama dewan adatnya menggelar rapat adat di Desa Tuhaha dan dihadiri para pimpinan adat, untuk menyiapkan berbagai peralatan yang akan digunakan untuk membuat api secara tradisional, sekaligus sebagai persiapan awal untuk menuju ke gunung Saniri.
Setelah tiba di Gunung Saniri, berbagai perlengkapan digelar di tanah dengan beralaskan selembar kain berwarna merah melambangkan keberanian, kemudian dilakukan doa menurut ajaran Islam dan Kristen untuk meminta pertolongan sang pencipta, barulah dilakukan upacara adat.
Kepala adat kemudian memerintahkan dua orang dewan adat untuk menggosok dua bilah bambu kering (dalam bahasa setempat disebut onar-red), hingga menghasilkan panas dan titik api untuk membakar serabut kelapa yang telah dihaluskan dan diletakkan dibawah sebilah bambu.
Prosesi menggesek dua bilah bambu itu membutuhkan waktu hampir 30 menit hingga menghasilkan titik api, yang kemudian digunakan untuk menyulut obor Pattimura.
Saat titik api muncul, secara serentak seluruh peserta upacara histeris dan bergembira dan menari cakalele dalam iringan musik tabuhan suara tifa dan tahuri sehingga menghadirkan nuansa heroisme.
Setelah obor Pattimura dinyalakan, kemudian diserahkan oleh kepala Adat kepada Camat Saparua, Ferry Siahaya dan diteruskan kepada Asisten I Sekda Maluku Tengah, Yopi Kapressy dan kemudian diserahkan kepada Raja Desa Ulath, Bram Nikijuluw untuk dibawa lari secara estafet mengelilingi pulau Saparua, dikawal para penari cakalele yang menggunakan parang, tombak dan salawaku.
Obor ini juga digunakan untuk membakar obor induk di Lapangen Merdeka Saparua yang letaknya bersebelahan dengan Benteng Duurstede milik Belanda yang kini menjadi saksi bisu perang Pattimura melawan penjajah pada 14 Mei 1817.
Warga yang bergerombol di jalan-jalan yang dilalui rombongan pembawa obor memberikan sambutan hangat, hingga obor tiba di Desa Haria sebagai pos terakhir di Pulau Saparua.
Di Desa Haria dilakukan upacara singkat serta pembacaan 17 butir ikrar dan sumpah Kapitan Pattimura bersama kawan-kawannya untuk angkat senjata berperang melawan penjajahan Belanda, yang isinya memperjuangkan kembali status sosial, ekonomi, hak asasi manusia serta agama dan hukum masyarakat Pulau Saparua dan Maluku yang telah dirampas oleh kolonial Belanda.
Obor Pattimura kemudian diseberangkan menuju Kota Ambon dua unit kapal perang milik TNI-AL Ambon ke Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu dan juga dibawa lari estafet oleh para pemuda lainnya melewati desa-desa hingga tiba di Lapangan Merdeka Ambon.
Sejarah singkat
Kapitan Pattimura lahir di Negeri Haria, Pulau Saparua, Maluku Tengah tahun 1783. Peperangan melawan kolonial Belanda yang dipimpin Pattimura, merupakan akumulasi penindasan dan penjajahan yang dialami masyarakat sejak tahun 1800-an.
Di tanah kelahirannya, Thomas Matulessy pernah mengalami masa pergantian kekuasaan dari Belanda ke Inggris.
Pada 1798 Inggris mengambil alih kekuasaan dari tangan Belanda. Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas militer dan terakhir berpangkat Sersan.
Namun, setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816, Belanda kembali berkuasa.
Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi, seperti bekerja rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lainya.
Tidak tahan menerima tekanan dan penindasan, Pattimura mengumpulkan sejumlah tokoh pemuda serta para Latupati dari Saparua dan Nusalaut di antaranya Anthony Rebook, Philip Latumahina, Berthy Kesaulya, Lucas Lisapally, Said Perintah, Paulus Tiahahu dan Kapitan Ulupaha, untuk mengadakan rapat besar di Puncak Gunung Saniri di Pulau Saparua, di mana disepakati masyarakat Maluku harus melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda pada 14 Mei 1817 dengan Pattimura sebagai panglima perangnya.
Penyerangan yang dilakukan malam hari ke Benteng Duurstede di pantai Waisisil yang merupakan markas besar kolonial berhasil, di mana seluruh tentara termasuk Residen Van den Berg tewas. Berita kemenangan ini cepat tersiar di seluruh wilayah Maluku, di mana dampaknya rakyat serempak mengangkat senjata melawan penjajah.
Selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura dan dijadikan sebagai markas komando. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja dan melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan lebih banyak dilengkapi persenjataan lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kalah.
Di sebuah rumah di Desa Siri Sori (Pulau Saparua), Kapitan Pattimura ditangkap pasukan Belanda. Bersama beberapa anggota pasukannya dan dibawa ke Ambon. Di sana Pattimura beberapa kali dibujuk agar bersedia bekerja sama dengan pemerintah Belanda, namun selalu ditolaknya.
Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun dijatuhkan kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura mau mengubah sikap bersedia bekerja sama dengan Belanda.
Sehari sebelum eksekusi hukuman gantung, Pattimura masih dibujuk, tapi Pattimura menunjukkan kesejatian perjuangannya tetap menolak bujukan itu, hingga akhirnya dieksekusi di Depan Benteng Victoria Ambon pada 16 Desember 1817.
(T.K-JA/M015)

