Hakim PN Makassar menggelar aksi tuntut kenaikan gaji
Makassar (ANTARA) - Sebanyak 48 orang hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri (PN) Kelas I A Makassar menggelar aksi solidaritas "Gerakan Cuti Bersama 7-11 Oktober 2024" sebagai bentuk akumulasi protes atas perlakuan yang tidak adil terhadap hakim dengan tuntutan kenaikan kesejahteraan gaji yang belum dinaikkan selama 12 tahun.
"Pertama, meminta negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan pemenuhan hak hakim atas kesejahteraan dan perumahan dengan melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim," kata Koordinator aksi Johnicol Richard Frans Sine didampingi puluhan hakim saat membacakan pernyataan sikap di depan PN Makassar, Sulawesi Selatan, Makasar, Senin.
Selanjutnya, Peraturan Presiden (Perpres) nomor 5 tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc, Perpres nomor 42 tahun 2023 tentang Perubahan atas (Perpres) nomor 5 tahun 2013, dan melakukan penyesuaian atas kondisi ekonomi faktual saat ini, serta mempertimbangkan besarnya tanggung jawab profesi hakim dan menyesuaikan dengan standar hidup yang layak.
"Revisi yang kami harapkan tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek atau saat ini saja, namun kami berharap Pemerintah melakukan penyesuaian secara berkala setiap tahunnya terhadap hak atas keuangan para hakim," paparnya.
Kedua, mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk memberikan pemenuhan hak atas fasilitas yang layak bagi Hakim, utamanya hak atas perumahan, transportasi dan kesehatan.
Terhadap hakim yang ditempatkan di daerah terluar, terpencil, dan di daerah kepulauan agar dapat diberikan tunjangan kemahalan, dan khusus terhadap hakim ad hoc agar dapat diberikan tunjangan pajak (PPH 21) dan tunjangan purna tugas.
Ketiga, mendorong negara dalam hal ini pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan bagi Hakim dalam pelaksanaan tugasnya yang sudah diatur dalam peraturan perundang- undangan.
Selain itu, mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Contempt of Court yang memberikan perlindungan bagi kehormatan pengadilan.
Keempat, mendorong negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI untuk pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Jabatan Hakim. Beberapa peraturan perundang-undangan pada fungsi yudikatif telah menempatkan hakim sebagai pejabat negara.
Baik hakim karir maupun hakim ad hoc secara bersama-sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Oleh karena itu, baik hakim karir maupun hakim ad hoc sebagai pelaksana fungsi yudisial harus ditetapkan sebagai pejabat negara. Dalam penyataan sikap tersebut, bila tuntutan diterima para hakim berjanji bekerja secara profesional.
"Untuk itu kami Hakim berjanji untuk, pertama menjaga integritas, kemandirian, kejujuran. Kedua, memberikan pelayanan yang profesionalitas kepada masyarakat pencari keadilan," ucapnya.
Ketiga, memberikan pelayanan yang akan akuntabel, responsif dan keterbukaan. Keempat, memberikan pelayanan yang tidak berpihak dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
"Pertama, meminta negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan pemenuhan hak hakim atas kesejahteraan dan perumahan dengan melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim," kata Koordinator aksi Johnicol Richard Frans Sine didampingi puluhan hakim saat membacakan pernyataan sikap di depan PN Makassar, Sulawesi Selatan, Makasar, Senin.
Selanjutnya, Peraturan Presiden (Perpres) nomor 5 tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc, Perpres nomor 42 tahun 2023 tentang Perubahan atas (Perpres) nomor 5 tahun 2013, dan melakukan penyesuaian atas kondisi ekonomi faktual saat ini, serta mempertimbangkan besarnya tanggung jawab profesi hakim dan menyesuaikan dengan standar hidup yang layak.
"Revisi yang kami harapkan tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek atau saat ini saja, namun kami berharap Pemerintah melakukan penyesuaian secara berkala setiap tahunnya terhadap hak atas keuangan para hakim," paparnya.
Kedua, mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk memberikan pemenuhan hak atas fasilitas yang layak bagi Hakim, utamanya hak atas perumahan, transportasi dan kesehatan.
Terhadap hakim yang ditempatkan di daerah terluar, terpencil, dan di daerah kepulauan agar dapat diberikan tunjangan kemahalan, dan khusus terhadap hakim ad hoc agar dapat diberikan tunjangan pajak (PPH 21) dan tunjangan purna tugas.
Ketiga, mendorong negara dalam hal ini pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan bagi Hakim dalam pelaksanaan tugasnya yang sudah diatur dalam peraturan perundang- undangan.
Selain itu, mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Contempt of Court yang memberikan perlindungan bagi kehormatan pengadilan.
Keempat, mendorong negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI untuk pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Jabatan Hakim. Beberapa peraturan perundang-undangan pada fungsi yudikatif telah menempatkan hakim sebagai pejabat negara.
Baik hakim karir maupun hakim ad hoc secara bersama-sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Oleh karena itu, baik hakim karir maupun hakim ad hoc sebagai pelaksana fungsi yudisial harus ditetapkan sebagai pejabat negara. Dalam penyataan sikap tersebut, bila tuntutan diterima para hakim berjanji bekerja secara profesional.
"Untuk itu kami Hakim berjanji untuk, pertama menjaga integritas, kemandirian, kejujuran. Kedua, memberikan pelayanan yang profesionalitas kepada masyarakat pencari keadilan," ucapnya.
Ketiga, memberikan pelayanan yang akan akuntabel, responsif dan keterbukaan. Keempat, memberikan pelayanan yang tidak berpihak dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.