Makassar (ANTARA) - Terdakwa Asmara Hady selaku mantan Pejabat sementara (Pjs) Bagian Komersil 2 PT Surveyor Indonesia (SI) Cabang Makassar dituntut 8 tahun, enam bulan atau 102 bulan penjara terkait kasus korupsi proyek jasa pengawasan yang merugikan keuangan negara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Selatan.
"Selain tuntutan pidana penjara delapan tahun enam bulan dikurangi selama terdakwa ditahan di Rutan Makassar, terdakwa juga mesti membayar denda Rp500 juta, subsidiar enam bulan kurungan," kata Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejati Sulsel Soetarmi di Makassar, Sabtu.
Selain pidana pokok, kata Soetarmi, JPU juga meminta kepada Majelis Hakim agar terdakwa dijatuhi hukuman pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp806,8 juta lebih.
Dengan ketentuan, apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu paling lama satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa disita oleh Jaksa untuk dilelang.
Ini dilakukan guna menutupi pembayaran uang pengganti tersebut dan jika terdakwa Asmara Hady tidak memiliki harta benda yang cukup, maka diganti dengan pidana penjara selama empat tahun tiga bulan penjara.
"Untuk sidang selanjutnya, dijadwalkan akan dilanjutkan kembali pada Kamis, 10 April 2025 dengan agenda Pledoi (nota pembelaan)," papar Soetarmi menjelaskan.
JPU meminta Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan menyatakan terdakwa Asmara Hady terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Hal ini sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 Jo. pasal 18 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam dakwaan subsidiair.
Dalam perkara ini, terdakwa Asmara Hady selaku Pjs Kepala Bagian Komersial 2 PT SI Cabang Makassar bekerja sama dengan terdakwa ATL selaku Junior Officer PT SI Cabang Makassar sekaligus Proyek Manager/Personal Incharge (PIC), terdakwa TY Kepala Cabang PT SI Cabang Makassar dan terdakwa IM selaku Direktur Utama PT Cahaya Sakti, bersekongkol.
Mereka membuat Rencana Anggaran Belanja (RAB) total sebesar Rp30,5 miliar lebih untuk empat pekerjaan atau proyek jasa pengawasan konsultasi dan pendampingan. Belakangan, dana itu digunakan secara pribadi oleh terdakwa ATL.
Selain itu dibagikan kepada PT Basista Teamwork, PT Cahaya Sakti dan PT Inovasi Global Solusindo serta terdakwa TY, terdakwa MRU, terdakwa AH, dan terpidana JH. Termasuk terpidana IM dan RI kala itu melalui staf PT Cahaya Sakti yakni, RYH dan beberapa pihak lain yang kini sedang dikembangkan tim penyidik.
Terdakwa Asmara Hady (AH) bekerja sama dengan terpidana IM selaku Direktur Utama PT Cahaya Sakti, terdakwa TY, ATL serta RI (Komisaris PT.Cahaya Sakti) melakukan rekayasa pekerjaan jasa konsultasi, penyusunan dokumen teknis dan administrasi serta pendampingan permohonan pembaharuan ijin pembangkit tenaga gas PLTG 4x7.8 MW di Tarakan, Kalimantan Utara.
Terdakwa Asmara Hady juga membeli mobil Mitsubishi senilai Rp283 juga untuk kepentingan pribadi bahkan menerima dan menikmati dana yang tidak sesuai dengan peruntukkannya pada pelaksanaan empat proyek jasa pengawasan, konsultasi dan pendampingan pada PT SI Cabang Makassar tahun 2019-2020.
Total dana diterima Asmara Hady sebesar Rp806,8 juta lebih, sebagaimana surat pernyataan pengembalian uang kepada PT SI dibuat terdakwa pada 8 April 2022, serta terpidana IM menerima dana dari PT SI cabang Makassar melalui PT Cahaya Sakti ditransfer ke rekening staf PT Cahaya Sakti inisial RHY sebesar Rp4,4 miliar lebih.
Kegiatan pekerjaan atau proyek tersebut dinyatakan fiktif dan uang tersebut telah digunakan terpidana IM untuk kepentingan pribadi, serta disalurkan kepada pihak-pihak lain.