Makassar (ANTARA Sulsel) - Lembaga Bantuan Hukum Makassar menilai jika surat edaran yang melarang penyandang disabilitas mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014 adalah pelanggaran hak azasi manusia (HAM) dan inkonstitusional.
"Ini sangat jelas pelanggaran HAM karena tidak ada seorangpun manusia yang ingin lahir ke dunia ini dengan keadaan yang cacat atau tidak normal. Lantas, jika penyandang difabel ingin melanjutkan pendidikannya, kemana mereka harus masuk," kata Direktur LBH Makassar Abdul Azis di Makassar, Jumat.
Dia menyebutkan, bunyi Pasal 31 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan, `setiap warga negara berhak mendapatkan dan mengenyam pendidikan`.
Petikan konstitusi yang menegaskan bahwa pendidikan adalah hak, dan pemerintah memikul tanggungjawab untuk memenuhinya bagi setiap warga negara.
Sebagai pemegang tanggungjawab utama, pemerintah tidak diperkenankan bertindak diskriminatif terhadap pemenuhan hak atas pendidikan karena perlakukan diskriminatif adalah satu tindakan yang terlarang sebagaimana ditegaskan pada Pasal 281 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Aturan yang menyatakan jika seorang calon peserta SNMPTN 2014 diisyaratkan tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wicara, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan dan tidak buta warna sebagian adalah sangat jelas bentuk pelanggaran HAM.
"Kami minta keputusan Forum Rektor mengenai larangan penyandang disabilitas untuk ikut seleksi SNMPTN 2014, dihapuskan. Karena itu merupakan keputusan yang sangat bodoh," jelasnya.
Wakil Ketua LBH Makassar Zulkifli Hasanuddin mengatakan, ketiadaan akses terhadap hak atas pendidikan juga akan berdampak terhadap hak hidup anak-anak difabel ke depannya.
Hal ini jelas dalam Pasal 12 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlidungan bagi pengembangan pribadinya untuk memperoleh pendidikan.
Bahkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga tegas menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Sementara itu, salah seorang penyandang disabilitas, Anton mengatakan, setiap orang memiliki bakat yang berbeda. Sama halnya dengan para kaum penyandang disabilitas juga memiliki potensi dan bakat di dalam dirinya.
"Kami penyandang disabilitas mengerti di mana dan kemana akan melanjutkan pendidikan. Kami mengerti di mana yang kami bisa, mana yang kami tidak bisa seperti halnya mendaftar militer. Pernah tidak, ada penyandang yang mendaftar. Tidak pernah kan karena kami tahu kami tidak bisa," ujarnya.
Alumni Fakutas Hukum UIT ini mengatakan, keputusan yang diambil oleh Forum Rektor PTN se-Indonesia sangat tidak berperikemanusiaan karena telah mengintimidasi para kaum penyandang disabilitas.
"Sejauh itukah keputusan mereka untuk mengintimidasi kami. Keputusan itu hanya sia-sia dan mubazir serta hanya menimbulkan permasalahan baru, di mana negara kita dilanda kasus korupsi," ucapnya. FC Kuen