Pengusaha sutra Sengkang keluhkan ulat perhutani
Makassar (Antaranews Sulsel) - Pengusaha kain sutera Sengkang, Kabupaten Wajo mengeluhkan bibit ulat Sutra yang dihasilkan Perum Perhutani terus menurun dan dinilai kurang berkualitas.
"Bibit ulat Sutra Perhutani kualitasnya terus menurun, ini tentunya membuat para penenun kekurangan bahan baku benang, padahal permintaan semakin meningkat," sebut Pemilik usaha kain Sutra, Losari Silk, Sengkang, Wajo, H Baji saat dihubungi, Selasa.
Menurutnya, dengan turunnya kualitas ulat dari Perhutani pihaknya terpaksa mendorong pemerintah untuk mengimpor telur ulat Sutra dari Cina, karena kualitasnya lebih baik, namun kendalanya proses pengiriman membutuhkan proses panjang dengan aturan cukup rumit.
Selain itu, tahun 2000-2010 produksi benang Sutra merosot drastis. Penghasil benang Sutra dari Kabupaten Soppeng dan Enrekang ikut mengeluh disebabkan ulat Sutra tidak sebaik dari sebelumnya, dari 200 ton per tahun menurun hingga 10-20 ton per tahun.
Tidak sampai disitu, bahan baku hingga tiga tahun terakhir, sebutnya, terus menipis dari sebelumnya di tahun 1980-1999 mencapai 100 persen hingga 80 persen, namun kini hanya mencapai 5 persen saja.
Bila dibandingkan dengan ulat sutera asal cina setelah menjadi kepompong, dihasilkan 5-6 kilogram benang, sedangkan bibit lokal paling banyak 2 kilogram. Diperlukan perhatian serius pemerintah untuk menjaga eksistensi Sutra Sengkang.
"Kami saat ini terus membangun komunikasi dengan pihak terkait termasuk Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian agar persoalan ini menjadi perhatian khusus," ujarnya.
Ditempat terpisah pusat kerajinan kain Sutra, Kampoeng BNI Sengkang, jalan Wa’na Makka 33 Sempange, Wajo, melalui Ridwan selaku manajemen Toko Kain Sutra Adeni mengatakan, usaha penjualan dan penenunan Sutra sudah menjadi warisan turun temurun.
Hanya saja kurangnya bahan baku sampai masuknya benang sintetis merusak pasar sampai membuat penenun tradisinal mulai berkurang. Kendati demikian, pihaknya tetap bertahan mempertahankan eksistensi Sutra khas Wajo.
"Kami tetap bertahan mempertahankan mutu dan kualitas meskipun banyak Sutra sintetis beredar dipasaran. Sudah seharusnya semua pihak terkait turun tangan melestarikan industri yang sudah mendunia ini. Kain Sutra akan punah bila tidak segera di perhatikan," harap dia.
Untuk mengenali kain sutra asli atau palsu ditengah gempuran benang sintetis, kata dia sangat mudah diketahui yang asli kalau dibakar seperti bau rambut. Sedangkan corak maupun motifnya tentu beragam sesuai perkelmbangan zaman, harga pun relatif mahal dari Rp300 ribu-Rp3 juta per lembar.
Kain Sutra Sengkang, dikenal luas masyarakat Sulawesi bukan hanya lokal tapi eksistensinya tetap bertahan baik secara nasional hingga mancanegara dan telah menjadi bagian penting dalam perkembangan fashion kekinian di zaman now.
Meski gempuran bahan tekstil moderen menggerus pengrajin tradisional, namun sarung sutra lokal yang menjadi icon Sengkang selanjutnya bertransformasi menjadi bahan kain ini menjadikan daya tarik tersendiri bagi pencinta sutra.
Banyak motif pilihan yang dikombinasikan penenunnya. Kendati, pada abad ke-13 sarung Sutra hanya digunakan khusus bangsawan saja, tetapi kini semua orang bisa menggunakannya.
Motif khas Sutra Sengkang dikenal seperti Sirsak Coppobola, Ballo Makalu, Ballo Renni, Cabosi dan Lagosi serta motif nusantara lainnya dipadukan untuk mengikuti tren di zaman sekarang.
"Bibit ulat Sutra Perhutani kualitasnya terus menurun, ini tentunya membuat para penenun kekurangan bahan baku benang, padahal permintaan semakin meningkat," sebut Pemilik usaha kain Sutra, Losari Silk, Sengkang, Wajo, H Baji saat dihubungi, Selasa.
Menurutnya, dengan turunnya kualitas ulat dari Perhutani pihaknya terpaksa mendorong pemerintah untuk mengimpor telur ulat Sutra dari Cina, karena kualitasnya lebih baik, namun kendalanya proses pengiriman membutuhkan proses panjang dengan aturan cukup rumit.
Selain itu, tahun 2000-2010 produksi benang Sutra merosot drastis. Penghasil benang Sutra dari Kabupaten Soppeng dan Enrekang ikut mengeluh disebabkan ulat Sutra tidak sebaik dari sebelumnya, dari 200 ton per tahun menurun hingga 10-20 ton per tahun.
Tidak sampai disitu, bahan baku hingga tiga tahun terakhir, sebutnya, terus menipis dari sebelumnya di tahun 1980-1999 mencapai 100 persen hingga 80 persen, namun kini hanya mencapai 5 persen saja.
Bila dibandingkan dengan ulat sutera asal cina setelah menjadi kepompong, dihasilkan 5-6 kilogram benang, sedangkan bibit lokal paling banyak 2 kilogram. Diperlukan perhatian serius pemerintah untuk menjaga eksistensi Sutra Sengkang.
"Kami saat ini terus membangun komunikasi dengan pihak terkait termasuk Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian agar persoalan ini menjadi perhatian khusus," ujarnya.
Ditempat terpisah pusat kerajinan kain Sutra, Kampoeng BNI Sengkang, jalan Wa’na Makka 33 Sempange, Wajo, melalui Ridwan selaku manajemen Toko Kain Sutra Adeni mengatakan, usaha penjualan dan penenunan Sutra sudah menjadi warisan turun temurun.
Hanya saja kurangnya bahan baku sampai masuknya benang sintetis merusak pasar sampai membuat penenun tradisinal mulai berkurang. Kendati demikian, pihaknya tetap bertahan mempertahankan eksistensi Sutra khas Wajo.
"Kami tetap bertahan mempertahankan mutu dan kualitas meskipun banyak Sutra sintetis beredar dipasaran. Sudah seharusnya semua pihak terkait turun tangan melestarikan industri yang sudah mendunia ini. Kain Sutra akan punah bila tidak segera di perhatikan," harap dia.
Untuk mengenali kain sutra asli atau palsu ditengah gempuran benang sintetis, kata dia sangat mudah diketahui yang asli kalau dibakar seperti bau rambut. Sedangkan corak maupun motifnya tentu beragam sesuai perkelmbangan zaman, harga pun relatif mahal dari Rp300 ribu-Rp3 juta per lembar.
Kain Sutra Sengkang, dikenal luas masyarakat Sulawesi bukan hanya lokal tapi eksistensinya tetap bertahan baik secara nasional hingga mancanegara dan telah menjadi bagian penting dalam perkembangan fashion kekinian di zaman now.
Meski gempuran bahan tekstil moderen menggerus pengrajin tradisional, namun sarung sutra lokal yang menjadi icon Sengkang selanjutnya bertransformasi menjadi bahan kain ini menjadikan daya tarik tersendiri bagi pencinta sutra.
Banyak motif pilihan yang dikombinasikan penenunnya. Kendati, pada abad ke-13 sarung Sutra hanya digunakan khusus bangsawan saja, tetapi kini semua orang bisa menggunakannya.
Motif khas Sutra Sengkang dikenal seperti Sirsak Coppobola, Ballo Makalu, Ballo Renni, Cabosi dan Lagosi serta motif nusantara lainnya dipadukan untuk mengikuti tren di zaman sekarang.