Jakarta (ANTARA) - Sebagian para pemburu kuasa politik cenderung mencari celah, dengan berbagai cara, untuk berkuasa, termasuk memainkan jurus politik identitas, identitas apa pun, bisa rasial bisa keimanan.
Demokrasi, sistem yang paling afdol buat pergantian kuasa politik tanpa pertumpahan darah, dalam batas-batas tertentu memberi ruang bagi para elite untuk memainkan jurus politik identitas itu.
Itu sebabnya, di mana pun, baik di negeri yang maju maupun sedang membangun kemantapan demokrasinya, partai politik yang menempelkan citra keagamaan muncul, kadang dengan intensitas yang melebihi kewajaran.
Namun jurus politik identitas cenderung dimainkan oleh para politisi yang memiliki basis konstituen yang kurang memadai kadar literasi politiknya.
India dan Indonesia, dua negara demokrasi dengan jumlah penduduk yang cukup signifikan, yang berada di lapisan demografis kurang terpelajar, kurang lebih punya karakteristik lanskap perpolitikan yang mirip: jurus politik identitas dipakai oleh sejumlah politisi untuk memukau pemilik suara di lingkup warga yang sentimen keagamaannya masih kuat.
Dalam kondisi demikian, kaum minoritas jelas terpinggirkan. Mayoritas warga masih mengidealkan seorang pemimpin yang sewarna dalam identitas rasial atau keimanan, dengan mengabaikan kualifikasi kepemimpinan politik. Kampanye politik menjelang perebutan kuasa dipenuhi narasi janji akhirat yang transenden.
Semua ini bertolak belakang dengan demokrasi yang berlangsung di kawasan yang mayoritas warganya tercerahkan dalam literasi politik, sosial dan ekonomi.
Literatur politik mengenal apa yang disebut sebagai sekularisme dalam demokrasi. Sekularisme menandai pemisahan institusi kenegaraan dan keagamaan.
Ide memisahkan institusi negara dan lembaga agama tentu mendapat tentangan dari kelompok religius. Dalam perjalanan demokrasi di negara-negara yang kini mencapai kemakmuran ekonomi, kelompok atau kekuatan politik dari kalangan Kristen fundamentalis adalah penentang utama konsep sekularisme.
Di Indonesia, selama tiga dasawarsa terjadi indoktrinasi oleh rezim Orde Baru bahwa sekularisme itu sebangsa hantu yang mengerikan, wabah yang menyengsarakan, menjauhkan manusia dari nilai-nilai agama yang dianut, yang mendekatkan manusia ke api neraka.
Indoktrinasi itu hasilnya masih mengendap dalam bawah sadar sebagian warga hingga kini. Bahkan kalangan terpelajar pun sebagian masih alergi dengan gagasan sekularisme. Mereka percaya bahwa sekularisasi di sektor politik akan menjauhkan warga dari nilai-nilai religius karena negara tak boleh campur tangan dalam urusan keagamaan.
Fakta yang terjadi di negara-negara sekuler, taruhlah di Kota London, Inggris, justru berlawanan dengan fantasi Orde Baru tentang sekularisme. Berbagai pemeluk agama, termasuk Muslim, menikmati kemerdekaan untuk beribadah.
Yang memukau dari akibat penerapan sekularisme di kota itu adalah terpilihnya seorang Muslim menjadi Wali Kota London, yang mayoritasnya beragama Kristen. Inilah ciri warga yang tingkat literasi politiknya cukup tinggi dan tercerahkan. Mereka memilih seorang wali kota berdasarkan integritas dan kesanggupan mengelola urusan pemerintahan demi memakmurkan warga kota.
Hanya di negeri yang sekularismenya mantap, yang memungkinkan mayoritas warga memberikan kepercayaan kepada siapa pun, tak peduli apa pilihan personal keimanannya, untuk mengelola sumber daya dan menumbuhkan kemakmuran buat publik.
Salah satu karakteristik negara demokrasi yang sekuler adalah tiadanya institusi atau kementerian yang mengurusi masalah-masalah agama dan praktik ibadah mereka.
Pada titik inilah, Indonesia hampir mustahil untuk mewujudkan penerapan sekularisme dalam perpolitikan. Para pemburu kuasa politik tak mungkin melakukan bunuh diri politik untuk mewacanakan pembubaran kementerian agama.
Bahkan Gus Dur (mendiang), ulama-politisi yang sempat menduduki kursi kepresidenan, yang paling sadar akan keutamaan sekularisme dalam sistem politik demokratis, tak berkutik untuk menghadapi para politisi penentang sekularisme.
Pada akhirnya, demokrasi memiliki peradoksnya sendiri. Ketika mayoritas warga yang sudah mewarisi ide mempersetankan sekularisme dalam politik memilih untuk mengizinkan negara mengatur urusan agama mereka, ketika itulah demokrasi membiarkan diri tersandera.
Apa yang salah dengan eksistensi institusi agama yang diurusi negara? Sepintas, tidak ada yang salah, tentu. Namun, dalam penyelenggaraan sistem kenegaraan secara holistik, ada mata rantai yang memperlambat percepatan meraih cita-cita kemakmuran, keadilan, pemuliaan martabat warga tanpa menghilangkan kualitas penghayatan religius mereka.
Terlalu banyaknya persoalan yang diurusi negara, dengan pembiayaan institusi-institusinya yang menyerap dana sangat besar, justru mengurangi kemampuan negara memberdayakan warga. Apalagi banyak lembaga-lembaga keagamaan yang sukses memandirikan diri dan memakmurkan umatnya tanpa dicampurtangani oleh birokrasi kenegaraan.
Sekalipun logika keutamaan sekularisme telah teruji di banyak negara maju, prospek aplikasinya di Tanah Air agaknya belum bisa diharapkan.
Bukan cuma politisi yang punya afiliasi dengan lembaga keagamaan yang menampik penerapan sekularisme. Bahkan politisi nasionalis pun, termasuk mereka yang bernaung di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Gerindra tak menyoal perlunya mewujudkan sekularisme dalam wacana politik mereka.
Itu sebabnya, tak mengherankan jika sejumlah peraturan daerah yang berlabel syariah juga direstui oleh kalangan politisi dari partai politik berideologi nasionalis tersebut.
Bagi elite politik itu, mayoritas suara pemilih yang mewarisi indoktrinasi rezim Orba tentang hantu sekularisme jauh lebih bermakna daripada suara segelintir orang yang mengamini nilai fundamental dalam praksis demokrasi, yang bernama sekularisme itu.
Paradoks demokrasi inilah yang akan melekat dalam kehidupan politik di Tanah Air, entah sampai kapan. (*)