Makassar (ANTARA) - Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan mengakui wilayah pesisir yang merupakan open access (akses terbuka) sangat rentan terhadap kelompok kepentingan, sehingga perlu dikelola secara terpadu.
Hal itu dikemukakan Kepala Seksi Penataan dan Pengelolaan Kawasan Perairan Cabang Dinas Kelautan Wilayah Bosowasi, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel Andi Mustamin pada webinar yang digelar Kepala DKP Sulsel dan Universitas Hasanuddin, Makassar, Senin.
Dia mengatakan batas-batas wilayah pesisir terdiri dari batas daratan dimulai dari kecamatan yang berada di sekitar pesisir sampai ke arah laut sekitar beberapa mil.
"Jadi akses terbuka pesisir itu perlu pengelolaan secara terpadu, karena terdapat banyak sumber daya dan biasanya muncul egosektoral," katanya.
Menurut dia, wilayah pesisir tidak bisa dipisahkan dengan alam dan manusia yang di dalamnya terdapat sistem ekologi, sistem ekonomi, budaya dan sosial.
Sebagai gambaran, dari sejarah kawasan mangrove Tongke-Tongke di Kabupaten Sinjai, awalnya di garis pantai sekitar 81 ribu kilometer dan dalam perkembangannya ada penambahan menjadi 104 ribu km.
Kawasan hutan mangrove kini memiliki luas sekitar 173,5 hektar dan dijadikan sebagai pusat restorasi dan pembelajaran mangrove.
Mengenai permasalahan wilayah pesisir, Andi Mustamin mengatakan, setidaknya terdapat empat pokok permasalahan yakni wilayah pesisir menjadi pilihan ekonomi masyarakat, sehingga penduduk menumpuk di wilayah pesisir.
Kedua, sistem pembangunan yang belum terpadu, sehingga berdampak pada konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir. Ketiga, intensitas pembangunan yang semakin tinggi, dan menciptakan alih fungsi lahan.
"Keempat, kualitas dan kesadaran manusia akan tanggung jawabnya terhadap keberlangsungan sumber daya alam masih kurang," katanya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Teknik Kelautan dan Perikanan Unhas Prof Dr Amran Saru, ST, MSi pada kesempatan yang sama menyampaikan cerita sukses dari pengembangan kawasan mangrove Tongke-Tongke untuk mendukung sektor pariwisata dan laboratorium pendidikan khususnya terkait dengan hutan mangrove.
Cerita sukses tersebut diawali dengan sejarah hutan mangrove Tongke-Tongke sejak 1985, kemudian berkembang hingga 2021.
Dia mengatakan hutan mangrove Tongke-Tongke mulai terkenal dan banyak dikunjungi ketika pengembang mangrove H Muh Taiyeb mendapatkan penghargaan Kalpataru sebagai penyelamat lingkungan dari Istana Presiden RI pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada 1995.