Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan bahwa pencabutan laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh korban merupakan hambatan terbesar dalam penerapan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
“Hambatan terbesar adalah korban mencabut laporan. Kita harus memaknainya dalam siklus kekerasan,” kata Siti ketika memberi paparan dalam seminar bertajuk “Memutus Rantai Kekerasan dan Memulihkan Korban” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Komnas Perempuan, Senin.
Pernyataan tersebut berdasarkan pada data yang tercantum dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2021 Komnas Perempuan yang meninjau data laporan KDRT pada tahun 2020.
Siti mengatakan dalam KDRT terdapat siklus di mana pelaku kekerasan akan meminta maaf kepada korban, kemudian berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan KDRT terhadap korban. Siklus ini yang mengakibatkan korban mencabut laporan KDRT di kepolisian.
“Kita juga harus paham, korban memiliki banyak pertimbangan,” tuturnya.
Adapun yang menjadi pertimbangan bagi korban saat memutuskan untuk mencabut laporannya adalah relasi atau perkawinannya, nasib anak, kondisi finansial, dan berbagai pertimbangan pribadi lainnya, ujar Siti.
Selain itu, ujar dia, kurangnya keyakinan dan korban yang belum mendapat penguatan ketika mengajukan laporan mendorong terjadinya pencabutan laporan KDRT ketika pelaku kekerasan menunjukkan penyesalannya.
Akan tetapi, setelah pencabutan laporan, siklus kekerasan masih bekerja karena kedua belah pihak, yakni korban dan pelaku masih belum pulih.
Pelaku dan korban yang belum mendapatkan proses konseling dapat membahayakan korban yang mencabut laporannya. Berdasarkan pengalaman Siti, kasus KDRT dapat terulang dalam rentang satu bulan setelah korban mencabut laporan KDRT di kepolisian.
“Ini yang harus kita pahami bersama-sama, bagaimana kita mendorong penyelesaian yang memulihkan,” tutur Siti.
Selain korban yang mencabut laporan, katanya, terdapat permasalahan lain yang menghambat penerapan UU PKDRT, yakni status perkawinan korban, kekurangan alat bukti, perspektif aparat, proses hukum yang lama, dan korban memilih untuk bercerai.