Indonesia berhasil mengarusutamakan isu kapal selam tenaga nuklir di PBB
Jakarta (ANTARA) - Indonesia berhasil mengarusutamakan pembahasan isu program kapal selam bertenaga nuklir (nuclear naval propulsion/NNP) dalam pertemuan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pertemuan ke-10 PBB yang bertujuan untuk mengkaji implementasi Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Non-Proliferation Treaty/NPT RevCon) itu resmi ditutup pada Jumat(26/8) setelah berlangsung pada 1–26 Agustus 2022 di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, menurut keterangan Kementerian Luar Negeri RI pada Minggu.
"Maksud Indonesia untuk meningkatkan kesadaran pada NPT telah tercapai. Banyak negara memberikan perhatian terhadap isu ini. Indonesia akan terus mengawal agar momentum pembahasan terus bergulir," kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, Tri Tharyat sebagai Ketua Delegasi RI pada pertemuan tersebut.
Tharyat mengatakan bahwa capaian itu penting mengingat isu program kapal selam bertenaga nuklir (NNP) belum dibahas di forum internasional mana pun.
"Padahal program NNP miliki keterkaitan dengan isu nuklir dan berpotensi mengandung risiko besar bagi perdamaian dan keselamatan dunia," ujarnya.
Menurut dia, di antara risiko yang muncul adalah pengalihan teknologi tersebut menjadi senjata nuklir yang dapat mengancam rezim non-proliferasi dan keamanan global, serta timbulnya dampak yang menghancurkan terhadap lingkungan jika terjadi kebocoran radiasi.
Sebelum pelaksanaan sidang di PBB, Indonesia mengeluarkan kertas kerja (working paper) yang disebut "Indonesian Paper". Berkat peran utama Indonesia dan beberapa negara lain, isu NNP mendapat perhatian serius.
Selama perundingan, isu NNP memicu pro dan kontra di antara negara-negara. Perbedaan pandangan antara negara yang mendukung dan yang menentang cukup tajam. Alhasil, negosiasi draf dokumen hasil pertemuan di paragraf yang membahas isu ini berlangsung alot, kata Kemenlu RI dalam keterangannya.
Berbekal semangat menjembatani perbedaan, Pemerintah Indonesia berikan usulan paragraf yang relatif dapat diterima semua pihak.
Usulan Indonesia itu menjadi dasar negosiasi, dan setelah diberi masukan negara-negara disepakati suatu Paragraph tentang NNP pada draf dokumen hasil.
"Semua pihak sepakat bahwa program NNP menjadi perhatian bersama dan diperlukan dialog yang transparan dan terbuka mengenai isu ini. Semua juga sepakat bahwa pengembangan NNP harus berkoordinasi erat dengan IAEA (Badan Energi Atom Internasional) secara terbuka dan transparan," ujar Dirjen Tharyat.
Pertemuan NPT RevCon ke-10 itu pada akhirnya tidak mencapai konsensus atas dokumen hasil karena perbedaan pandangan tajam di antara negara-negara untuk berbagai isu lain, khususnya tentang pembangkit tenaga listrik di Zaporizhzhia, Ukraina.
Namun fakta bahwa negara-negara mencapai kesepakatan dalam pembahasan terkait program NNP merupakan capaian tersendiri bagi Indonesia, kata Kemenlu RI.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Indonesia arus utamakan isu kapal selam tenaga nuklir di PBB
Pertemuan ke-10 PBB yang bertujuan untuk mengkaji implementasi Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Non-Proliferation Treaty/NPT RevCon) itu resmi ditutup pada Jumat(26/8) setelah berlangsung pada 1–26 Agustus 2022 di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, menurut keterangan Kementerian Luar Negeri RI pada Minggu.
"Maksud Indonesia untuk meningkatkan kesadaran pada NPT telah tercapai. Banyak negara memberikan perhatian terhadap isu ini. Indonesia akan terus mengawal agar momentum pembahasan terus bergulir," kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, Tri Tharyat sebagai Ketua Delegasi RI pada pertemuan tersebut.
Tharyat mengatakan bahwa capaian itu penting mengingat isu program kapal selam bertenaga nuklir (NNP) belum dibahas di forum internasional mana pun.
"Padahal program NNP miliki keterkaitan dengan isu nuklir dan berpotensi mengandung risiko besar bagi perdamaian dan keselamatan dunia," ujarnya.
Menurut dia, di antara risiko yang muncul adalah pengalihan teknologi tersebut menjadi senjata nuklir yang dapat mengancam rezim non-proliferasi dan keamanan global, serta timbulnya dampak yang menghancurkan terhadap lingkungan jika terjadi kebocoran radiasi.
Sebelum pelaksanaan sidang di PBB, Indonesia mengeluarkan kertas kerja (working paper) yang disebut "Indonesian Paper". Berkat peran utama Indonesia dan beberapa negara lain, isu NNP mendapat perhatian serius.
Selama perundingan, isu NNP memicu pro dan kontra di antara negara-negara. Perbedaan pandangan antara negara yang mendukung dan yang menentang cukup tajam. Alhasil, negosiasi draf dokumen hasil pertemuan di paragraf yang membahas isu ini berlangsung alot, kata Kemenlu RI dalam keterangannya.
Berbekal semangat menjembatani perbedaan, Pemerintah Indonesia berikan usulan paragraf yang relatif dapat diterima semua pihak.
Usulan Indonesia itu menjadi dasar negosiasi, dan setelah diberi masukan negara-negara disepakati suatu Paragraph tentang NNP pada draf dokumen hasil.
"Semua pihak sepakat bahwa program NNP menjadi perhatian bersama dan diperlukan dialog yang transparan dan terbuka mengenai isu ini. Semua juga sepakat bahwa pengembangan NNP harus berkoordinasi erat dengan IAEA (Badan Energi Atom Internasional) secara terbuka dan transparan," ujar Dirjen Tharyat.
Pertemuan NPT RevCon ke-10 itu pada akhirnya tidak mencapai konsensus atas dokumen hasil karena perbedaan pandangan tajam di antara negara-negara untuk berbagai isu lain, khususnya tentang pembangkit tenaga listrik di Zaporizhzhia, Ukraina.
Namun fakta bahwa negara-negara mencapai kesepakatan dalam pembahasan terkait program NNP merupakan capaian tersendiri bagi Indonesia, kata Kemenlu RI.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Indonesia arus utamakan isu kapal selam tenaga nuklir di PBB