Bawaslu Sulsel: Potensi pelanggaran Pemilu 2024 ada pada setiap tahapan
Makassar (ANTARA) - Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan Mardiana Rusli menyatakan potensi pelanggaran administrasi dan pidana selalu ada pada setiap tahapan pelaksanaan Pemilihan Umum atau Pemilu tahun 2024.
"Potensi pelanggaran pidana itu bukan hanya pada kampanye, tapi semua tahapan ada potensi. Misalnya, kalau kita bicara tindak pidana bisa terjadi di proses pemutakhiran data pemilih," ungkap Mardiana di Makassar, Jumat.
Ia mencontohkan ketika ada penyelenggara yang tidak mengakomodasi pemilih yang bersyarat maka itu berpotensi pelanggaran tindak pidana. Namun demikian, sejauh ini proses pemutakhiran data pemilih sudah terakomodasi dalam daftar pemilih tetap atau DPT.
Selain itu, potensi pelanggaran lain di masa pencalonan bakal calon legislatif seperti persyaratan dokumen bila diragukan keabsahannya dan berpotensi palsu maka perlu dilakukan investigasi oleh Bawaslu.
"Nanti kajian Bawaslu kalau sudah fiks, maka dibawa ke sentra gakkumdu untuk kajian lebih besarnya. Putusan nantinya di sentra gakkumdu menentukan potensi pelanggaran administrasi atau pidana," tutur mantan Ketua AJI Makassar ini menegaskan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam Forum Koordinasi Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Wilayah Sulawesi di Makassar menyampaikan, Sentra Gakkumdu dibentuk sejak awal sebelum tahapan pendaftaran dan verifikasi parpol terdiri atas bawaslu, kepolisian serta kejaksaan.
Sementara masa tugasnya setelah tahapan pemilu selesai. Namun kalau ada masalah dalam proses hasil yang tergantung, bisa diperpanjang seperti pelanggaran pidananya. Pelanggaran Pidana pemilu tidak selalu berdasarkan hasil pemilu.
Meskipun kecurangan itu bisa diadili di pengadilan pidana, namun tidak membatalkan hasil atau dilakukan Pemilu ulang. Bila setiap kecurangan bisa membatalkan Pemilu, maka Pemilu tidak akan bisa selesai, akan ada lagi kecurangan lalu diulang kembali.
Oleh sebab itu, hukum pemilu dan hukum pidana dipisah dan dipisahkan penegakan hukumnya. Artinya yang ditekankan pidana. Kalau bicara mengubah keputusan dengan alasan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang bisa menjelaskan adalah Mahkamah Konstitusi atau MK. MK bisa mengubah hasil tapi tidak bisa mengubah dan membatalkan putusan Pemilu.
"Ingin saya tegaskan, penegakan hukum pemilu perlu ditegakkan secara hati-hati agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Menjelang Pemilu 2024 penegakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum tentu tidak lepas dari tarikan politik," ungkap Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) UGM ini.
Walaupun ada kekhawatiran masyarakat akan campur tangan politik dalam penegakan hukum khususnya pada masa Pemilu, kata mantan Menteri Pertahanan ini, harus menjadi pengingat aparat penegak hukum atau APH sendiri agar terus bekerja, tetap profesional dan jangan takut.
Mahfud menyebutkan, dari 361 putusan pelanggaran tindak pidana Pemilu lalu, ada 159 tindak pidana saat berkampanye. Terjadi pula sebanyak 100 tindak pidana pada saat penghitungan pemungutan suara, dalam artian penggelembungan serta pengurangan suara.
"Seperti itu ada kecurangan saat pemungutan dan penghitungan suara, sekarang macam-macam modusnya. Apakah ada lolos, pasti ada. Tapi saat ini pengawasannya jauh lebih ketat," ungkapnya.
"Potensi pelanggaran pidana itu bukan hanya pada kampanye, tapi semua tahapan ada potensi. Misalnya, kalau kita bicara tindak pidana bisa terjadi di proses pemutakhiran data pemilih," ungkap Mardiana di Makassar, Jumat.
Ia mencontohkan ketika ada penyelenggara yang tidak mengakomodasi pemilih yang bersyarat maka itu berpotensi pelanggaran tindak pidana. Namun demikian, sejauh ini proses pemutakhiran data pemilih sudah terakomodasi dalam daftar pemilih tetap atau DPT.
Selain itu, potensi pelanggaran lain di masa pencalonan bakal calon legislatif seperti persyaratan dokumen bila diragukan keabsahannya dan berpotensi palsu maka perlu dilakukan investigasi oleh Bawaslu.
"Nanti kajian Bawaslu kalau sudah fiks, maka dibawa ke sentra gakkumdu untuk kajian lebih besarnya. Putusan nantinya di sentra gakkumdu menentukan potensi pelanggaran administrasi atau pidana," tutur mantan Ketua AJI Makassar ini menegaskan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam Forum Koordinasi Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Wilayah Sulawesi di Makassar menyampaikan, Sentra Gakkumdu dibentuk sejak awal sebelum tahapan pendaftaran dan verifikasi parpol terdiri atas bawaslu, kepolisian serta kejaksaan.
Sementara masa tugasnya setelah tahapan pemilu selesai. Namun kalau ada masalah dalam proses hasil yang tergantung, bisa diperpanjang seperti pelanggaran pidananya. Pelanggaran Pidana pemilu tidak selalu berdasarkan hasil pemilu.
Meskipun kecurangan itu bisa diadili di pengadilan pidana, namun tidak membatalkan hasil atau dilakukan Pemilu ulang. Bila setiap kecurangan bisa membatalkan Pemilu, maka Pemilu tidak akan bisa selesai, akan ada lagi kecurangan lalu diulang kembali.
Oleh sebab itu, hukum pemilu dan hukum pidana dipisah dan dipisahkan penegakan hukumnya. Artinya yang ditekankan pidana. Kalau bicara mengubah keputusan dengan alasan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang bisa menjelaskan adalah Mahkamah Konstitusi atau MK. MK bisa mengubah hasil tapi tidak bisa mengubah dan membatalkan putusan Pemilu.
"Ingin saya tegaskan, penegakan hukum pemilu perlu ditegakkan secara hati-hati agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Menjelang Pemilu 2024 penegakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum tentu tidak lepas dari tarikan politik," ungkap Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) UGM ini.
Walaupun ada kekhawatiran masyarakat akan campur tangan politik dalam penegakan hukum khususnya pada masa Pemilu, kata mantan Menteri Pertahanan ini, harus menjadi pengingat aparat penegak hukum atau APH sendiri agar terus bekerja, tetap profesional dan jangan takut.
Mahfud menyebutkan, dari 361 putusan pelanggaran tindak pidana Pemilu lalu, ada 159 tindak pidana saat berkampanye. Terjadi pula sebanyak 100 tindak pidana pada saat penghitungan pemungutan suara, dalam artian penggelembungan serta pengurangan suara.
"Seperti itu ada kecurangan saat pemungutan dan penghitungan suara, sekarang macam-macam modusnya. Apakah ada lolos, pasti ada. Tapi saat ini pengawasannya jauh lebih ketat," ungkapnya.