"Sebanyak 90 sampai 95 persen kasus diabetes yang dialami anak-anak adalah tipe satu akibat pankreas tidak bisa memproduksi hormon insulin. Oleh karena itu, perlu pendekatan yang komprehensif untuk bisa mencapai zero kematian akibat diabetes pada anak," kata ujarnya dalam diskusi media yang dipantau di Jakarta, Sabtu.
Piprim mengatakan pasien diabetes melitus tipe satu banyak yang datang ke rumah sakit dalam kondisi darurat karena mengalami ketoasidosis diabetikum.
Situasi itu bisa dicegah atau dihilangkan bila orang tua melaporkan secara dini penyakit yang dialami oleh anak mereka. Kepedulian terhadap kesehatan perlu ditingkatkan untuk mengatasi penyakit diabetes.
Kepala Proyek Changing Diabetes in Children (CDiC) Aman Bhakti Pulungan mengatakan diabetes adalah salah satu penyakit kronis yang umum pada anak dan remaja. Angka prevalensi terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Menurut data International Diabetes Federation (IDF), angka prevalensi diabetes tipe satu pada anak dan remaja usia 0 sampai 19 tahun berjumlah 1,2 juta orang pada tahun 2021 dan meningkat menjadi 1,52 juta orang pada tahun 2022.
Angka kasus baru per tahun penyakit diabetes melitus tipe satu pada anak dan remaja juga tumbuh dari 184.100 kasus pada 2021 menjadi 201.000 kasus pada tahun 2022.
Secara epidemiologi, prevalensi diabetes tipe satu di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Bahkan, prevalensi asli diprediksi lebih tinggi dari data yang ada.
Pada tahun 2000, angka prevalensi diabetes tipe satu hanya 0,004 per 100 ribu anak. Pada 2010, angkanya meningkatkan sedikit menjadi 0,028 per 100 ribu anak. Namun, pada 2023, angka prevalensi melesat 70 kali lipat menjadi 2 per 100 ribu anak.
"Masalah yang menghambat layanan diabetes adalah sosial-ekonomi. Asuransi BPJS menanggung, tapi BPJS belum menanggung split gula darahnya dan tidak menanggung pemeriksaan," kata Aman.
"Ini biaya tinggi, insulin tinggi tentu sudah ditanggung, tapi layanan belum ditanggung terutama cek gula darah rutin harian," imbuhnya.