JPU KPK : Eksepsi Andhi Pramono tidak berdasar
Jakarta (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum KPK menyebut nota keberatan atau eksepsi penasihat hukum mantan Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar, Sulawesi Selatan, Andhi Pramono adalah tidak berdasar sehingga patut untuk ditolak atau tidak dapat diterima.
“Alasan keberatan atau eksepsi penasihat hukum terdakwa yang mendalilkan surat dakwaan kami atas nama terdakwa Andhi Pramono tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap sehingga dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima adalah tidak berdasar,” kata salah satu JPU KPK Joko Hermawan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Rabu.
Menurut jaksa, eksepsi penasihat hukum Andhi yang menyebut bahwa gratifikasi yang diterima kliennya tidak berhubungan dengan jabatan sebagai petinggi di Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan, telah masuk ke dalam materi pokok perkara yang harus dibuktikan terlebih dahulu dalam pembuktian di persidangan.
Selain itu, jaksa menilai dalil-dalil yang dikemukakan oleh penasihat hukum Andhi bukanlah eksepsi melainkan pleidoi karena cenderung berisikan pembelaan untuk diri kliennya yang disimpulkan secara sepihak.
“Sehingga, dalil-dalil tersebut sangat prematur dan tidak relevan untuk dijadikan sebagai alasan dalam mengemukakan keberatan atau eksepsi perkara a quo,” ucap jaksa.
Surat dakwaan, sambung jaksa, sudah diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. Sebab itu, jaksa menilai surat dakwaan telah memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 143 Ayat (2) huruf a dan huruf b KUHAP.
Atas dasar itu, jaksa memohon kepada majelis hakim yang memeriksa perkara dimaksud untuk menolak atau menyatakan tidak menerima eksepsi penasihat hukum Andhi.
Jaksa memohon majelis hakim menyatakan surat dakwaan telah sah secara hukum sebagai landasan memeriksa dan mengadili perkara pidana terhadap yang bersangkutan.
“Menyatakan sidang pemeriksaan perkara pidana dengan terdakwa Andhi Pramono dilanjutkan berdasarkan surat dakwaan penuntut umum,” ucap jaksa.
Sidang berlanjut dengan agenda pembacaan putusan sela pada Rabu, 13 Desember 2023.
Sebelumnya, Kuasa Hukum Andhi Pramono, Edhhi Sutarto, mengklaim gratifikasi yang kliennya terima tidak berhubungan dengan jabatannya sebagai petinggi di Bea Cukai, Kementerian Keuangan.
"Penerimaan gratifikasi tersebut yang tidak ada hubungannya dengan kedudukan penerima sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara," kata Edhhi Sutarto saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Rabu (29/11).
Menurut Eddhi, jabatan yang diemban Andhi tidak memiliki kapasitas dalam mengurusi kepabeanan seperti yang didakwakan JPU KPK. Ia juga mengatakan bahwa kliennya hanyalah melakukan kerja sama bisnis terkait ekspor-impor, tanpa menyangkutpautkan status terdakwa sebagai ASN.
JPU KPK mendakwa Andhi Pramono menerima gratifikasi dengan total Rp58,9 miliar. Jumlah tersebut terdiri atas Rp50.286.275.189,79; 264,500 dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp3.800.871.000,00; dan 409,000 dolar Singapura atau setara dengan Rp4.886.970.000,00.
Atas perbuatannya, Andhi Pramono didakwa melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
“Alasan keberatan atau eksepsi penasihat hukum terdakwa yang mendalilkan surat dakwaan kami atas nama terdakwa Andhi Pramono tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap sehingga dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima adalah tidak berdasar,” kata salah satu JPU KPK Joko Hermawan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Rabu.
Menurut jaksa, eksepsi penasihat hukum Andhi yang menyebut bahwa gratifikasi yang diterima kliennya tidak berhubungan dengan jabatan sebagai petinggi di Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan, telah masuk ke dalam materi pokok perkara yang harus dibuktikan terlebih dahulu dalam pembuktian di persidangan.
Selain itu, jaksa menilai dalil-dalil yang dikemukakan oleh penasihat hukum Andhi bukanlah eksepsi melainkan pleidoi karena cenderung berisikan pembelaan untuk diri kliennya yang disimpulkan secara sepihak.
“Sehingga, dalil-dalil tersebut sangat prematur dan tidak relevan untuk dijadikan sebagai alasan dalam mengemukakan keberatan atau eksepsi perkara a quo,” ucap jaksa.
Surat dakwaan, sambung jaksa, sudah diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. Sebab itu, jaksa menilai surat dakwaan telah memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 143 Ayat (2) huruf a dan huruf b KUHAP.
Atas dasar itu, jaksa memohon kepada majelis hakim yang memeriksa perkara dimaksud untuk menolak atau menyatakan tidak menerima eksepsi penasihat hukum Andhi.
Jaksa memohon majelis hakim menyatakan surat dakwaan telah sah secara hukum sebagai landasan memeriksa dan mengadili perkara pidana terhadap yang bersangkutan.
“Menyatakan sidang pemeriksaan perkara pidana dengan terdakwa Andhi Pramono dilanjutkan berdasarkan surat dakwaan penuntut umum,” ucap jaksa.
Sidang berlanjut dengan agenda pembacaan putusan sela pada Rabu, 13 Desember 2023.
Sebelumnya, Kuasa Hukum Andhi Pramono, Edhhi Sutarto, mengklaim gratifikasi yang kliennya terima tidak berhubungan dengan jabatannya sebagai petinggi di Bea Cukai, Kementerian Keuangan.
"Penerimaan gratifikasi tersebut yang tidak ada hubungannya dengan kedudukan penerima sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara," kata Edhhi Sutarto saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Rabu (29/11).
Menurut Eddhi, jabatan yang diemban Andhi tidak memiliki kapasitas dalam mengurusi kepabeanan seperti yang didakwakan JPU KPK. Ia juga mengatakan bahwa kliennya hanyalah melakukan kerja sama bisnis terkait ekspor-impor, tanpa menyangkutpautkan status terdakwa sebagai ASN.
JPU KPK mendakwa Andhi Pramono menerima gratifikasi dengan total Rp58,9 miliar. Jumlah tersebut terdiri atas Rp50.286.275.189,79; 264,500 dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp3.800.871.000,00; dan 409,000 dolar Singapura atau setara dengan Rp4.886.970.000,00.
Atas perbuatannya, Andhi Pramono didakwa melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.