Setiap kasus kerugian keuangan negara/daerah seringkali melibatkan banyak pihak. Pihak-pihak tersebut kebanyakan akan melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain dengan berbagai dalih dan alasan.
Kerugian keuangan negara/daerah merupakan hal yang tidak diinginkan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. Sementara itu, pengelolaan keuangan negara/daerah telah dilengkapi dengan seperangkat peraturan perundangan yang berlaku.
Peraturan utama dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Ketiganya sering disebut sebagai Paket Undang-Undang Keuangan Negara.
Otonomi daerah berdampak pada pemilahan keuangan negara menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikelola oleh pemerintah pusat dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dikelola oleh pemerintah daerah.
Keuangan negara yang dikelola pemerintah pusat biasanya tetap disebut sebagai keuangan negara, sedangkan keuangan negara yang dikelola pemerintah daerah seringkali disebut sebagai keuangan daerah.
Walaupun demikian, keuangan daerah tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari keuangan negara secara keseluruhan sebagaimana diatur dalam Paket Undang-Undang Keuangan Negara.
Aturan teknis mengenai pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh pemerintah pusat menjadi kewenangan Menteri Keuangan. Sementara itu, regulasi pengelolaan keuangan daerah menjadi wewenang Menteri Dalam Negeri.
Kerugian keuangan negara yang terjadi dalam pengelolaan keuangan daerah disebut juga sebagai kerugian keuangan daerah. Dalam memandang kasus ini, maka harus diperhatikan ketentuan dalam Paket Undang-Undang Keuangan Negara dan peraturan perundangan di bawahnya yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan daerah.
Pengelolaan keuangan daerah antara lain diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 55 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Serta Penyampaiannya, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. SE-900/316/BAKD Tahun 2007.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 telah beberapa kali mengalami perubahan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2011 sebagai perubahan terakhirnya.
Wewenang Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah
Pada dasarnya, kerugian keuangan negara/daerah terjadi karena adanya kesalahan dalam penggunaan wewenang para pengelola keuangan negara/daerah, baik sengaja maupun lalai.
Untuk itu, perlu kiranya dipahami pengaturan dan pembagian wewenang pengelolaan keuangan negara/daerah tersebut. Dengan memahami struktur dan pembagian wewenang ini, maka dapat diketahui siapa yang paling bertanggung jawab terhadap sebuah kerugian keuangan negara/daerah.
Dalam pengelolaan keuangan daerah, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan tertinggi menyerahkan kewenangan tersebut kepada Kepala Daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan (Pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 17 Tahun 2003).
Sebagai pimpinan eksekutif tertinggi di pemerintahan daerah, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan pengelolaan keuangan daerah tersebut kepada pejabat-pejabat yang ada di bawahnya. Pejabat-pejabat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah,
2. Kepada Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), dan
3. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pengguna anggaran/pengguna barang.
Pembagian kekuasaan tersebut di atas disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006. Pemisahan kewenangan di atas dimaksudkan agar tercipta check and balance dalam pengelolaan keuangan daerah sehingga perlu dipisahkan antara pihak yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau mengeluarkan uang.
Check and balance merupakan mekanisme untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pihak tertentu. Sekretaris daerah dan kepala SKPKD selain sebagai koordinator pengelola keuangan daerah dan PPKD juga sebagai pengguna anggaran untuk SKPD yang dipimpinnya.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai PPKD, Kepala SKPKD juga menjabat sebagai Bendahara Umum Daerah (BUD) yang memiliki wewenang antara lain menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD, memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas daerah, menetapkan Surat Penyediaan Dana (SPD), dan melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah.
Dalam melaksanakan fungsi pencairan anggaran belanja daerah, BUD menunjuk pejabat di bawahnya selaku Kuasa BUD yang salah satu tugasnya adalah menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) atas dasar SPM yang diterbitkan oleh Kepala SKPD (Pengguna Anggaran).
Terkait dengan pelaksanaan anggaran, kewenangan pengguna anggaran meliputi melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran anggaran, melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya, menguji tagihan dan memerintahkan pembayaran, melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak, mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan, menandatangani surat perintah membayar (SPM), mengelola barang milik daerah di SKPD yang dipimpinnya, dan sebagainya.
Pengguna anggaran bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah. Semua kewenangan yang dimiliki pengguna anggaran tidak dilaksanakan sendiri, tetapi ada yang didelegasikan kepada pejabat yang ada di bawahnya. Pejabat pengelola keuangan daerah di SKPD tersebut antara lain adalah:
1. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
2. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
3. Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK)
4. Bendahara Pengeluaran/Penerimaan
Keberadaan keempat di bawah Kepala SKPD di atas didasarkan pada Pasal 11-14 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 dan perubahannya (tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), Kepala SKPD dapat mengangkat pejabat di bawahnya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (P2K, disingkat demikian untuk membedakan dengan Pejabat Penatausahaan Keuangan) guna melaksanakan pengadaan barang/jasa yang diperlukan di SKPD bersangkutan.
Adanya banyak pejabat di lingkungan SKPD dalam pengelolaan keuangan dimaksudkan agar tercipta internal control dalam pelaksanaan anggaran. Antarpejabat diharapkan selalu terjadi saling uji (check and balance) dalam pelaksanaan anggaran. Di dalamnya terdapat pihak yang bertugas mengajukan tagihan, menguji tagihan, dan menerbitkan SPM guna melakukan pembayaran kepada yang berhak menerima pembayaran.
Mekanisme Pencairan Anggaran Belanja SKPD
Keluarnya uang daerah dari kas daerah dilaksanakan melalui beberapa tahapan dan melibatkan banyak pihak. Pencairan dana tersebut didasarkan pada terbitnya SP2D oleh Kuasa BUD.
Apabila BUD tidak menunjuk pejabat di bawahnya sebagai Kuasa BUD maka penerbitan SP2D tersebut dilakukan oleh BUD. Penerbitan SP2D oleh BUD/Kuasa BUD harus didasarkan pada SPM yang diterbitkan oleh Kepala SKPD.
SP2D tidak dapat diterbitkan tanpa adanya SPM yang mendasarinya. Antara SKPD (selaku Pengguna Anggaran) dan SKPKD (selaku BUD) harus terjadi check and balance sehingga kesalahan bayar dapat dihindari.
Kendatipun demikian, SKPD sebagai pihak yang mengeluarkan perintah bayar kepada BUD memiliki kewenangan yang lebih besar dalam proses pencairan anggaran.
Sebelum SPM diterbitkan maka pengujian terhadap suatu tagihan (Surat Permintaan Pembayaran) harus sudah dilakukan (Pasal 10 huruf (e) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006). Tagihan tersebut harus benar, lengkap, dan sah.
Kebenaran, kelengkapan, dan keabsahan tersebut menjadi tugas dan wewenang pejabat-pejabat pengelola keuangan di SKPD selaku pengguna anggaran. Kewenangan SKPD yang lebih besar ini berdampak pada lebih besarnya tanggung jawab SKPD dalam proses pencairan anggaran berkenaan.
Sementara itu, wewenang secara teknis yang dimiliki BUD/Kuasa BUD sebagai pihak yang diperintahkan untuk melakukan pembayaran adalah meneliti kelengkapan SPM yang diterimanya (Bab 6.8: Penerbitan SP2D, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. SE.900/316/BAKD tanggal 5 April 2007).
BUD/Kuasa BUD tidak memiliki wewenang untuk menguji kebenaran materiil dari dokumen kelengkapan SPM. Misalnya terhadap Berita Acara Serah Terima, BUD/Kuasa BUD tidak berwenang untuk memeriksa apakah fisik barang yang diserahkan kepada SKPD telah benar-benar dalam penguasaan SKPD.
Walaupun demikian, apabila BUD/Kuasa BUD mengetahui bahwa dokumen kelengkapan SPM yang diterimanya adalah tidak benar, maka ia berwenang untuk menolak SPM yang diterimanya.
Setiap orang atau pejabat baik di lingkungan SKPD maupun BUD memiliki tanggung jawab terhadap dokumen yang diterbitkannya. Pasal 18 UU Perbendaharaan Negara ayat (3) UU Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa:
Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.
Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi dari kewenangan yang diberikan kepada mereka. Semakin besar wewenang yang dimilikinya, maka akan semakin besar juga tanggung jawab yang dipikulnya.
Pencairan anggaran dari rekening kas daerah kepada pihak yang berhak menerima pembayaran dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu 1) pencairan secara langsung (LS) dari rekening kas daerah ke rekening penerima pembayaran dan 2) pencairan melalui Uang Persediaan (UP).
Pencairan anggaran belanja diharapkan dapat dilakukan dengan mekanisme LS yaitu langsung dari Rekening Kas Umum Daerah ke rekening penerima pembayaran. Mekanisme ini dianggap lebih aman karena tidak melalui perantara antar dua rekening tersebut.
Dalam pencairan secara LS (barang/jasa) tidak diperlukan peran bendahara pengeluaran karena dana (uang) tidak mengalir melalui rekening bendahara pengeluaran. Bendahara pengeluran juga tidak melakukan pelunasan terhadap pencairan anggaran secara LS ini.
Dalam Surat Permintaan Pembayaran (SPP-LS) untuk pembayaran atas pengadaan barang/jasa terdapat tanda tangan bendahara pengeluaran, namun dalam hal ini bendahara pengeluaran tidak diberi wewenang untuk melakukan pengujian terhadap SPP-LS barang/jasa dan dokumen kelengkapannya yang telah disiapkan oleh PPTK.
Penyiapan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan menjadi tugas PPTK (Pasal 12 ayat (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006).
Sementara itu, bentuk pencairan melalui uang persediaan digunakan apabila mekanisme LS sulit untuk dilakukan. Bendahara Pengeluaran menjadi pejabat yang melakukan pelunasan atas pembayaran dengan Uang Persediaan.
Dalam melakukan pembayaran dengan UP yang dikelolanya, bendahara pengeluaran harus menunggu adanya perintah bayar atau setuju bayar yang dikeluarkan oleh Pengguna Anggaran.
Apabila perintah bayar tersebut telah dilakukan oleh Pengguna Anggaran, maka bendahara pengeluaran harus melakukan pengujian terkait dengan kelengkapan, kebenaran perhitungan, dan ketersediaan dana.
Hal ini diatur pada Pasal 21 ayat (3) UU Perbendaharaan Negara yang menyebutkan bahwa:
“Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang dikelolanya setelah:
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.â€
Apabila ketiga hal tersebut tidak dapat dipenuhi, maka bendahara pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari Pengguna Anggaran tersebut. Dalam pembayaran dengan UP, bendahara diposisikan sebagai penyeimbang Pengguna Anggaran yang mengeluarkan perintah bayar.
Penutup
Mekanisme pencairan anggaran telah disusun sedemikian rupa dalam peraturan perundangan yang berlaku. Di dalamnya terdapat prinsip check and balance (saling uji) untuk menghindari penyalahgunaan wewenang oleh pihak tertentu.
Kerugian keuangan negara/daerah yang terjadi akibat penyalahgunaan wewenang bisa terjadi karena para pejabat terkait secara bersama-sama menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya (kolusi).
Selain itu, bisa juga kerugian negara/daerah terjadi akibat kelalaian pejabat tertentu dalam melaksanakan wewenang yang dimilikinya, sementara itu ada pihak lain yang memanfaatkan kelalaian tersebut untuk mendapatkan keuntungan.
Semoga tulisan ini dapat memberikan tambahan wawasan pembaca dalam menyikapi kerugian keuangan negara/daerah yang sampai saat ini masih sering terjadi.
Para pejabat pengelola keuangan negara/daerah semoga mendapatkan petunjuk dari-Nya sehingga dapat amanah menjalankan tugas dan wewenang yang dimilikinya. Dengan pengelolaan keuangan negara/daerah yang amanah, niscaya akan semakin mudah bagi bangsa dan negara ini untuk menjadi negeri yang adil, makmur, dan sejahtera, amin.
*) Penulis adalah widyaiswara Kementerian Keuangan,
penulis buku Keuangan Daerah: Terapi Atasi Kemiskinan,
dan mahasiswa Program Doktor Ekonomi Islam pada UIN Alauddin Makassar.