Merayakan perbedaan dukungan pada Pemilu 2024
Semarang (ANTARA) - Perbedaan merupakan keniscayaan karena kehidupan manusia memang selalu menawarkan banyak pilihan. Begitu pula dalam pilihan politik sebagai bagian dari cara berdemokrasi dan bernegara.
Menerapkan demokrasi memang tidak murah dan tidak mudah. Untuk mengakomodasi aspirasi banyak orang melalui sistem pemilihan satu orang satu suara, membutuhkan ketelitian dengan dukungan peranti dan sumber daya manusia hingga tingkat paling bawah, petugas KPPS. Namun dari proses elektoral rumit ini wakil rakyat dan pemimpin terpilih memperoleh legitimasi untuk mengelola kekuasaan bagi kepentingan orang banyak.
Para politikus cum negarawan pada awal Kemerdekaan RI telah menunjukkan teladan bagaimana mereka selalu mengedepankan kepentingan bangsa. Banyak di antara mereka juga memperlihatkan bahwa perbedaan sengit di parlemen tidak sampai merobek persaudaraan sebangsa.
Dinamis dan lentur
Jumlah pemilih dalam Pemilu 2024 tercatat 203.056.748 orang. Komisi Pemilihan Umum atau KPU harus menjamin setiap pemilih bisa menggunakan hak suaranya, di mana pun.
Di negara dengan 17.000-an pulau ini, memastikan terpenuhinya hak suara setiap pemilih itu sungguh bukan perkara sederhana. Meski di sebuah daerah terpencil hanya ada beberapa pemilih, misalnya, KPU menjamin mereka terdata dan berhak mencoblos pada 14 Februari 2024.
Di luar masalah teknis dan administratif penyelenggaraan pemilu, hajatan politik elektoral ini selalu diwarnai persaingan yang juga melibatkan tim sukses dan pendukung capres-cawapres maupun calon anggota legislatif.
Gesekan hingga konflik antartim sukses maupun pendukung kadang mencuat di permukaan. Di zaman internet, peristiwa dan opini dengan mudah dan cepat menyebar lalu mengundang reaksi khalayak.
Ibarat bola salju, opini kontroversial dan provokatif dengan mudah menyulut emosi. Bangsa ini sudah selayaknya belajar banyak dari gesekan yang melukai pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
Kita sudah menyaksikan bahwa politik itu, oleh para aktornya diperlakukan sebagai sesuatu yang dinamis sekaligus lentur yang muaranya pada kepentingan.
Pada Pemilu 2024 membuktikan adagium bahwa dalam politik tidak ada teman yang abadi, yang terus bersemai hanyalah kepentingan. Partai-partai yang pada Pemilu 2014 dan 2019 berkoalisi, misalnya, kini menjadi pesaing karena mendukung capres-cawapres yang berbeda. Fenomena lumrah dalam jagat politik, di mana pun dan dalam level apa pun.
Jika Pilpres 2024 nanti terjadi dua putaran, "perkawanan" politik juga bakal berubah lagi. Bahkan, menjelang pembentukan kabinet, peta politik bisa berubah lagi seperti yang terjadi hampir 5 tahun lalu. Bahkan peluang pemenang untuk mengakomodasi dua kubu yang kalah dalam pemerintahan mendatang tetap terbuka. Muara dari dinamika politik tersebut tetap kepentingan.
Sepanjang kepentingan itu didedikasikan untuk kemuliaan, kesejahteraan, dan memperkuat integrasi bangsa, --sebagaimana dituangkan dalam visi dan misi para peserta pemilu, terutama capres dan cawapres--, rakyat bisa memilih berdasar rekam jejak peserta pemilu.
Untuk tiga pasangan capres dan cawapres, duet nomor 1 Anies Rasyid Baswedan/Abdul Muhaimin Iskandar, lalu pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto/Gibran Rakabuming Raka, serta pasangan nomor urut 3 Ganjar Pranowo/Mahfud Md, tentu bukan deretan nama baru.
Sepak terjang mereka sudah terbentang panjang sehingga kita tinggal memilih mana di antara ketiganya yang layak untuk memimpin negeri berpenduduk 280 juta jiwa ini. Debat capres yang dipertontonkan melalui media bisa menjadi bahan tambahan pertimbangan dalam memilih.
Tidak ada istilah seperti "membeli kucing dalam karung" karena rekam jejak hingga kapasitas kepemimpinan mereka bisa dilihat melalui beragam media.
Dengan bekal pengetahuan dan pemahaman masing-masing calon, sudah selayaknya kita memasuki bilik tempat pemungutan suara (TPS) dengan gembira. Merayakan kebebasan individu dalam memilih calon wakil rakyat dan capres-cawapres.
Di dalam bilik suara inilah setiap pemilih memiliki kendali penuh untuk menentukan wakil-wakilnya di DPR, DPRD provinsi, kabupaten/kota, hingga presiden-wakil presiden untuk masa tugas 2024-2029.
Di zaman keterbukaan informasi seperti sekarang ini tidaklah sulit melacak rekam jejak para kontestan. Yang diperlukan hanyalah meluangkan waktu sejenak untuk memastikan calon yang kita pilih punya modal integritas, amanah, dan kompeten menjalankan amanat rakyat.
Integritas, amanah, dan kompeten memang harus melekat pada setiap kontestan pemilu karena mereka bakal menghadapi kewajiban menyejahterakan banyak jiwa, mulai dari janin di kandungan hingga manusia lanjut usia.
Dengan tiga tugas pokok, yakni legislasi (membuat undang-undang), penganggaran, dan pengawasan, sungguh setiap wakil rakyat memiliki kewenangan yang sangat besar.
Kewenangan tersebut harus didayagunakan untuk menyejahterakan rakyat, bukan malah direkayasa untuk memperbesar kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Betapa pun, kekuasaan, --baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif--, harus ada yang mengontrol dan membatasinya. Karena, seperti diktum Lord Acton, "Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut adalah korup."
Kita sebagai pemegang hak suara juga bisa melakukan kontrol tersebut pada 14 Februari 2024, yakni tidak memilih kembali mereka yang sebelumnya terbukti tidak berintegritas, amanah, dan tidak pula kompeten menjalankan tugas sebagai pemegang mandat rakyat.
Masih ada cukup waktu untuk memastikan bahwa calon yang kita pilih memang cakap untuk membawa bangsa Indonesia lebih maju dan sejahtera.
Sebentar lagi puncak dari pesta demokrasi tiba. Saatnya bangsa Indonesia merayakan dengan cermat dan gembira. Siapa pun yang dipilih.
Menerapkan demokrasi memang tidak murah dan tidak mudah. Untuk mengakomodasi aspirasi banyak orang melalui sistem pemilihan satu orang satu suara, membutuhkan ketelitian dengan dukungan peranti dan sumber daya manusia hingga tingkat paling bawah, petugas KPPS. Namun dari proses elektoral rumit ini wakil rakyat dan pemimpin terpilih memperoleh legitimasi untuk mengelola kekuasaan bagi kepentingan orang banyak.
Para politikus cum negarawan pada awal Kemerdekaan RI telah menunjukkan teladan bagaimana mereka selalu mengedepankan kepentingan bangsa. Banyak di antara mereka juga memperlihatkan bahwa perbedaan sengit di parlemen tidak sampai merobek persaudaraan sebangsa.
Dinamis dan lentur
Jumlah pemilih dalam Pemilu 2024 tercatat 203.056.748 orang. Komisi Pemilihan Umum atau KPU harus menjamin setiap pemilih bisa menggunakan hak suaranya, di mana pun.
Di negara dengan 17.000-an pulau ini, memastikan terpenuhinya hak suara setiap pemilih itu sungguh bukan perkara sederhana. Meski di sebuah daerah terpencil hanya ada beberapa pemilih, misalnya, KPU menjamin mereka terdata dan berhak mencoblos pada 14 Februari 2024.
Di luar masalah teknis dan administratif penyelenggaraan pemilu, hajatan politik elektoral ini selalu diwarnai persaingan yang juga melibatkan tim sukses dan pendukung capres-cawapres maupun calon anggota legislatif.
Gesekan hingga konflik antartim sukses maupun pendukung kadang mencuat di permukaan. Di zaman internet, peristiwa dan opini dengan mudah dan cepat menyebar lalu mengundang reaksi khalayak.
Ibarat bola salju, opini kontroversial dan provokatif dengan mudah menyulut emosi. Bangsa ini sudah selayaknya belajar banyak dari gesekan yang melukai pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
Kita sudah menyaksikan bahwa politik itu, oleh para aktornya diperlakukan sebagai sesuatu yang dinamis sekaligus lentur yang muaranya pada kepentingan.
Pada Pemilu 2024 membuktikan adagium bahwa dalam politik tidak ada teman yang abadi, yang terus bersemai hanyalah kepentingan. Partai-partai yang pada Pemilu 2014 dan 2019 berkoalisi, misalnya, kini menjadi pesaing karena mendukung capres-cawapres yang berbeda. Fenomena lumrah dalam jagat politik, di mana pun dan dalam level apa pun.
Jika Pilpres 2024 nanti terjadi dua putaran, "perkawanan" politik juga bakal berubah lagi. Bahkan, menjelang pembentukan kabinet, peta politik bisa berubah lagi seperti yang terjadi hampir 5 tahun lalu. Bahkan peluang pemenang untuk mengakomodasi dua kubu yang kalah dalam pemerintahan mendatang tetap terbuka. Muara dari dinamika politik tersebut tetap kepentingan.
Sepanjang kepentingan itu didedikasikan untuk kemuliaan, kesejahteraan, dan memperkuat integrasi bangsa, --sebagaimana dituangkan dalam visi dan misi para peserta pemilu, terutama capres dan cawapres--, rakyat bisa memilih berdasar rekam jejak peserta pemilu.
Untuk tiga pasangan capres dan cawapres, duet nomor 1 Anies Rasyid Baswedan/Abdul Muhaimin Iskandar, lalu pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto/Gibran Rakabuming Raka, serta pasangan nomor urut 3 Ganjar Pranowo/Mahfud Md, tentu bukan deretan nama baru.
Sepak terjang mereka sudah terbentang panjang sehingga kita tinggal memilih mana di antara ketiganya yang layak untuk memimpin negeri berpenduduk 280 juta jiwa ini. Debat capres yang dipertontonkan melalui media bisa menjadi bahan tambahan pertimbangan dalam memilih.
Tidak ada istilah seperti "membeli kucing dalam karung" karena rekam jejak hingga kapasitas kepemimpinan mereka bisa dilihat melalui beragam media.
Dengan bekal pengetahuan dan pemahaman masing-masing calon, sudah selayaknya kita memasuki bilik tempat pemungutan suara (TPS) dengan gembira. Merayakan kebebasan individu dalam memilih calon wakil rakyat dan capres-cawapres.
Di dalam bilik suara inilah setiap pemilih memiliki kendali penuh untuk menentukan wakil-wakilnya di DPR, DPRD provinsi, kabupaten/kota, hingga presiden-wakil presiden untuk masa tugas 2024-2029.
Di zaman keterbukaan informasi seperti sekarang ini tidaklah sulit melacak rekam jejak para kontestan. Yang diperlukan hanyalah meluangkan waktu sejenak untuk memastikan calon yang kita pilih punya modal integritas, amanah, dan kompeten menjalankan amanat rakyat.
Integritas, amanah, dan kompeten memang harus melekat pada setiap kontestan pemilu karena mereka bakal menghadapi kewajiban menyejahterakan banyak jiwa, mulai dari janin di kandungan hingga manusia lanjut usia.
Dengan tiga tugas pokok, yakni legislasi (membuat undang-undang), penganggaran, dan pengawasan, sungguh setiap wakil rakyat memiliki kewenangan yang sangat besar.
Kewenangan tersebut harus didayagunakan untuk menyejahterakan rakyat, bukan malah direkayasa untuk memperbesar kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Betapa pun, kekuasaan, --baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif--, harus ada yang mengontrol dan membatasinya. Karena, seperti diktum Lord Acton, "Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut adalah korup."
Kita sebagai pemegang hak suara juga bisa melakukan kontrol tersebut pada 14 Februari 2024, yakni tidak memilih kembali mereka yang sebelumnya terbukti tidak berintegritas, amanah, dan tidak pula kompeten menjalankan tugas sebagai pemegang mandat rakyat.
Masih ada cukup waktu untuk memastikan bahwa calon yang kita pilih memang cakap untuk membawa bangsa Indonesia lebih maju dan sejahtera.
Sebentar lagi puncak dari pesta demokrasi tiba. Saatnya bangsa Indonesia merayakan dengan cermat dan gembira. Siapa pun yang dipilih.