Ankara (ANTARA) - Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Kamis (5/12) mengumumkan akan menunjuk perdana menteri baru "dalam beberapa hari" setelah parlemen memilih untuk menggulingkan Michel Barnier dan pemerintahannya melalui mosi tidak percaya.
Sebelumnya pada hari yang sama, Macron menerima pengunduran diri Barnier yang baru menjabat selama tiga bulan.
Perdana menteri yang kini lengser tersebut kehilangan kepercayaan dari Majelis Nasional, atau majelis rendah parlemen Prancis, setelah mayoritas anggota parlemen tersebut mendukung mosi tidak percaya pada Rabu (6/12).
Langkah itu diambil dua hari setelah Barnier menggunakan kewenangan khususnya untuk mengesahkan rancangan anggaran jaminan sosial tanpa pemungutan suara di parlemen.
Di tengah spekulasi bahwa Macron ingin segera menunjuk perdana menteri baru, ia menyampaikan pidato langsung kepada rakyat Prancis pada Kamis malam, mengatakan bahwa perdana menteri baru akan ditugaskan membentuk pemerintahan dengan fokus pada "kepentingan umum."
Macron menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah baru adalah "anggaran."
Kepala negara Prancis itu menambahkan bahwa undang-undang khusus akan diajukan ke parlemen sebelum pertengahan Desember sebagai langkah sementara untuk menjamin kelangsungan layanan publik.
“Pemerintah baru ini akan menyiapkan anggaran baru pada awal tahun depan,” jelas Macron.
Ia juga menyebutkan bahwa konstitusi tidak memungkinkan pemilu legislatif baru diadakan dalam 10 bulan ke depan sejak pemilu sebelumnya, yang berarti tidak akan ada pemilu hingga Juli 2025.
Menyerukan semua pihak untuk bekerja demi kemajuan Prancis, Macron mengatakan bahwa masa jabatannya sebagai presiden lima tahun akan berlangsung hingga 2027, yang berarti ia hanya memiliki waktu 30 bulan lagi untuk memimpin.
Kritik terhadap parpol
Macron mengecam partai-partai politik yang mendepak Barnier, khususnya partai ekstrem kiri France Unbowed (LFI) yang mengajukan mosi tidak percaya, dan partai ekstrem kanan National Rally (RN) yang mendukungnya.
“Partai ekstrem kanan dan ekstrem kiri membentuk front anti-republik,” ujarnya.
“Saya tidak akan pernah bertanggung jawab atas tindakan mereka, terutama para anggota parlemen yang dengan sengaja memilih untuk menggulingkan anggaran dan pemerintah Prancis hanya beberapa hari sebelum liburan Natal.” kata Macron.
Macron juga mengkritik para anggota parlemen RN karena memilih "kekacauan" sebagai proyek bersama dengan pihak ekstrem kiri.
Menurutnya, partai-partai tersebut tidak peduli dengan kepentingan rakyat Prancis, tetapi lebih fokus pada "satu hal: pemilihan presiden, mempersiapkannya, memprovokasinya, dan mempercepatnya."
Menurut mantan menteri yang tidak disebutkan namanya kepada BFMTV, Macron berharap pemerintahan baru sudah terbentuk sebelum Presiden AS terpilih Donald Trump mengunjungi Paris pada Sabtu mendatang untuk menghadiri pembukaan kembali Katedral Notre Dame.
Hal ini dianggap sebagai upaya menjaga kredibilitas Macron sebagai pemimpin Prancis.
Katedral berusia 850 tahun tersebut, yang mengalami kerusakan signifikan akibat kebakaran pada 2019, akan dibuka kembali setelah proses renovasi besar-besaran.
Kunjungan ini akan menjadi perjalanan internasional pertama Trump sejak terpilih kembali pada November.
Gejolak sejak pemilu
Prancis telah dilanda gejolak politik sejak Juni ketika blok sentris Macron gagal memenangkan suara mayoritas, sementara RN memenangkan pemilu Parlemen Eropa.
Sebagai respons, Macron mengadakan dua putaran pemilu legislatif pada 30 Juni dan 7 Juli, tetapi tidak ada partai yang berhasil meraih 289 kursi untuk mencapai mayoritas mutlak di Majelis Nasional.
Aliansi kiri New Popular Front (NFP) memenangkan suara dan kursi terbanyak pada putaran kedua dan menuntut agar perdana menteri berasal dari aliansi mereka.
Namun, mereka gagal untuk segera mencalonkan kandidat konsensus bagi posisi tersebut.Setelah beberapa pekan mengalami perpecahan internal, NFP akhirnya mencalonkan Lucie Castets sebagai perdana menteri pada 23 Juli.
Namun, Macron menolak kandidat dari sayap kiri dan menyatakan tidak akan menunjuk perdana menteri hingga pertengahan Agustus setelah Olimpiade Paris.
Macron dikritik karena menunda proses tersebut, yang memperburuk instabilitas setelah ia menerima pengunduran diri Perdana Menteri Gabriel Attal pada 16 Juli, setelah sebelumnya menolaknya pada 8 Juli.
Pada 5 September, Macron akhirnya menunjuk Michel Barnier, seorang politisi kanan tengah, mantan komisaris Eropa, dan mantan menteri luar negeri, sebagai perdana menteri.
Namun, pemerintahan Barnier ternyata menjadi yang pertama dibubark^an karena mosi tidak percaya sejak 1962.
Sumber: Anadolu
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Usai Barnier diturunkan, Macron akan tunjuk PM baru dalam waktu dekat