Makassar (ANTARA Sulsel) - Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Mahasiswa Indonesia (LKBHMI) Cabang Makassar mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Negeri Makassar dalam penuntasan kasus dugaan korupsi pengalihan lahan negara di Jalan Telkomas, Biringkanaya.
"Ini ada apa kenapa bisa mandek seperti ini, padahal kan sudah ada pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam kasusnya," ujar Ketua LKBHMI Cabang Makassar Habibi Masdin di Makassar, Jumat.
Dia mengatakan, ketidakjelasan dalam penuntasan perkara pengalihan lahan negara ini semakin mengindikasikan adanya permainan agar kasusnya tidak dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor.
"Ini yang kita pertanyakan, ada apa dengan Kejari Makassar, sampai saat ini belum melimpahkan kasus ini ke pengadilan. Kami tidak ingin menuduh, tapi kalau ini berlangsung lama, maka masyarakat akan beranggapan lain," tegasnya.
Habibi mengaku, dalam kasus ini sudah ada dua orang yang telah dijadikan tersangka dan berdasarkan pengetahuannya, kasusnya sudah memenuhi unsur untuk dilanjutkan hingga pada tahap penuntutan.
"Kasus ini sudah ditangani sejak tahun lalu, tapi kasusnya tergantung. Tidak ada juga langkah dari Kejari yang saya lihat dalam menuntaskan kasus ini," ujarnya.
Kejari Makassar kata Habibi, selalu berdalih jika kasus ini masih terus berjalan, sedang berproses bahkan berdalih akan secepatnya dilimpahkan ke pengadilan.
Sebelumnya, Kepala Kejari Makassar Deddy Suwardy Surachman mengatakan pihaknya melakukan perampungan berkas tersebut.
"Hanya tinggal beberapa bagian saja yang masih sementara dirampungkan," katanya.
Kejari Makassar mulai mengusut kasus itu karena terbit sertifikat hak milik atas nama warga pada tahun 2009. Padahal, lahan itu telah menjadi sitaan negara atas putusan vonis Mahkamah Agung pada tahun 2009 dalam kasus korupsi pengadaan alat "traffic voice" dengan menggunakan teknologi voice over Internet protocol di PT Telkom Makassar.
Lahan itu dahulunya ditempati Koperasi Karyawan Siporennu PT Telkom. Namun, setelah turun putusan Mahkamah Agung, tanah itu resmi disita negara untuk mengganti kerugian negara sebesar Rp30,8 miliar.

