Beijing (Antaranews News) - Pusat Kajian Antarmasyarakat Indonesia-China terbentuk di kampus Central China Normal University (CCNU) di Ibu Kota Provinsi Hubei di Wuhan.
"Karena lokasi pendirian lembaga tersebut berakar di institusi pendidikan tinggi, maka tujuannya untuk meningkatkan kerja sama," kata Jona Widhagdo Putri, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia kepada Antara di Beijing, Jumat.
Kerja sama tersebut akan ditekankan pada bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, serta menghasilkan kajian yang bermanfaat bagi masyarakat dan memberikan masukan untuk hubungan kedua negara.
Selain di CCNU, hingga kini terdapat tujuh lembaga serupa yang tersebar di Fujian Normal University, Hebei Normal University, Guangdong University of Foreign Studies, Beijing Foreign Studies University, Huaqiao University, Jinan University, dan Guangxi University for Nationalities.
Jona menyebutkan pendirian Pusat Kajian Antarmasyarakat Indonesia-China di CCNU dihadiri Dr Hanief Saha Ghafur (Ketua PBNU), Dr Arie Setiabudi Soesilo (Dekan FISIP UI), dan Yuniwati Prayino.
"Hubungan antarmasyarakat yang baik dan mendalam adalah fondasi utama untuk hubungan kedua negara yang sehat, stabil, dan berkelanjutan," ujarnya.
Hubungan Indonesia-Tiongkok yang kalau dijumlahkan penduduknya mencapai angka 1,66 miliar jiwa itu bukan hanya berpengaruh dalam level hubungan bilateral, melainkan juga dapat memberikan dampak di kawasan dan bahkan di level global.
Hubungan Indonesia dan China dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Dalam lima tahun terakhir (2012-2017) realisasi investasi China di Indonesia naik dari peringkat ke-12 ke peringkat ke-3.
Namun hubungan antarmasyarakat kedua negara masih perlu ditingkatkan, mengingat populasi China yang hampir mencapai 1,4 miliar jiwa dan Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar ke-4 dengan 260 juta jiwa.
"Memang banyak warga negara Indonesia beretnis Tionghoa. Dari kelompok etnis tersebut kita dapat mempelajari sebagian dari budaya dan sejarah Tiongkok, namun mereka tidak mewakili Tiongkok secara menyeluruh," kata Jona.
Pasang surut hubungan Indonesia-China, terutama pada periode 1967-1990, membutuhkan pemahaman lebih mendalam antarmasyarakat di kedua negara.
China memiliki 56 etnis yang tersebar di wilayah daratan seluas 9,6 juta kilometere persegi.
Setiap etnis mempunyai latar belakang sejarah, sosial budaya, dan agama atau kepercayaan yang beragam.
Agama Islam diperkenalkan di Tiongkok sejak 1.400 tahun yang lalu. Sekitar 10 kelompok etnis diklasifikasikan sebagai Muslim dan paling banyak tinggal di Provinsi Gansu, Daerah Otonomi Xinjiang, Provinsi Yunnan, Provinsi Shaanxi, dan Provinsi Qinghai.
"Sama halnya dengan Indonesia. Apabila hanya pernah datang ke Jakarta atau Bali, rasanya tidak cukup untuk dapat menggambarkan Indonesia secara menyeluruh. Setiap wilayah memiliki keragaman sejarah, sosial budaya dan kearifan lokal sendiri," ujarnya.