KPK dalami penerimaan uang mantan Dirjen Ardian Noervianto perlancar usulan dana PEN
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan aliran penerimaan uang oleh tersangka mantan Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian Noervianto (MAN) memperlancar proses usulan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) Kabupaten Kolaka Timur.
KPK memeriksa PNS pada Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Ochtavian Runia Pelealu sebagai saksi untuk tersangka Ardian dan kawan-kawan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (20/4) dalam penyidikan kasus dugaan suap terkait pengajuan pinjaman dana PEN tahun 2021.
"Didalami pengetahuan saksi antara lain terkait dengan dugaan aliran penerimaan uang oleh tersangka MAN karena secara bertahap memperlancar proses usulan dana PEN untuk Kabupaten Kolaka Timur," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
KPK menetapkan Ardian bersama dengan Bupati nonaktif Kolaka Timur Andi Merya Nur (AMN) dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna Laode M. Syukur Akbar (LMSA) sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
KPK menjelaskan tersangka Ardian memiliki tugas antara lain menjalankan bentuk investasi langsung pemerintah berupa pinjaman PEN tahun 2021 dari Pemerintah pusat kepada pemda, melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Investasi tersebut berupa pinjaman program dan/atau kegiatan sesuai kebutuhan daerah.
Pada Maret 2021, Andi Merya menghubungi Laode M. Syukur agar dibantu mendapatkan pinjaman dana PEN untuk Kabupaten Kolaka Timur. Selain menghubungi Laode M Syukur, Andi Merya juga meminta bantuan LM Rusdianto Emba, yang juga mengenal baik tersangka Ardian.
Selanjutnya, pada Mei 2021, Laode M. Syukur mempertemukan Andi Merya dengan Ardian di Gedung Kemendagri, Jakarta. Andy Merya mengajukan permohonan pinjaman dana PEN sebesar Rp350 miliar dan meminta Ardian mengawal dan mendukung proses permohonan pinjaman dana tersebut.
KPK menduga tersangka Ardian meminta kompensasi atas peran yang dilakukannya dengan meminta sejumlah uang senilai tiga persen dari nilai pengajuan pinjaman, dengan rincian 1 persen untuk penerbitan pertimbangan dari Kemendagri, 1 persen untuk penilaian awal dari Kemenkeu, dan 1 persen untuk penandatanganan nota kesepahaman antara PT SMI dengan Pemkab Kolaka Timur.
Andi Merya memenuhi keinginan Ardian dan mengirimkan uang sebesar Rp2 miliar ke rekening bank milik Laode M. Syukur. Pemberian uang sebagai tahap awal kompensasi itu juga diketahui LM Rusdianto Emba.
KPK menduga tersangka Ardian menerima 131.000 dolar Singapura atau setara dengan Rp1,5 miliar, yang diberikan langsung di rumah pribadi-nya di Jakarta, dan Laode M Syukur menerima Rp500 juta.
Tersangka Ardian juga diduga aktif memantau proses penyerahannya, meskipun saat itu dia sedang melaksanakan isolasi mandiri, dengan selalu berkomunikasi terhadap beberapa orang kepercayaan yang sudah dikenalkan dengan Laode M. Syukur.
KPK menyebut permohonan pinjaman dana PEN yang diajukan Andi Merya disetujui dengan adanya bubuhan paraf Ardian pada draf final surat Menteri Dalam Negeri ke Menteri Keuangan.
KPK memeriksa PNS pada Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Ochtavian Runia Pelealu sebagai saksi untuk tersangka Ardian dan kawan-kawan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (20/4) dalam penyidikan kasus dugaan suap terkait pengajuan pinjaman dana PEN tahun 2021.
"Didalami pengetahuan saksi antara lain terkait dengan dugaan aliran penerimaan uang oleh tersangka MAN karena secara bertahap memperlancar proses usulan dana PEN untuk Kabupaten Kolaka Timur," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
KPK menetapkan Ardian bersama dengan Bupati nonaktif Kolaka Timur Andi Merya Nur (AMN) dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna Laode M. Syukur Akbar (LMSA) sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
KPK menjelaskan tersangka Ardian memiliki tugas antara lain menjalankan bentuk investasi langsung pemerintah berupa pinjaman PEN tahun 2021 dari Pemerintah pusat kepada pemda, melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Investasi tersebut berupa pinjaman program dan/atau kegiatan sesuai kebutuhan daerah.
Pada Maret 2021, Andi Merya menghubungi Laode M. Syukur agar dibantu mendapatkan pinjaman dana PEN untuk Kabupaten Kolaka Timur. Selain menghubungi Laode M Syukur, Andi Merya juga meminta bantuan LM Rusdianto Emba, yang juga mengenal baik tersangka Ardian.
Selanjutnya, pada Mei 2021, Laode M. Syukur mempertemukan Andi Merya dengan Ardian di Gedung Kemendagri, Jakarta. Andy Merya mengajukan permohonan pinjaman dana PEN sebesar Rp350 miliar dan meminta Ardian mengawal dan mendukung proses permohonan pinjaman dana tersebut.
KPK menduga tersangka Ardian meminta kompensasi atas peran yang dilakukannya dengan meminta sejumlah uang senilai tiga persen dari nilai pengajuan pinjaman, dengan rincian 1 persen untuk penerbitan pertimbangan dari Kemendagri, 1 persen untuk penilaian awal dari Kemenkeu, dan 1 persen untuk penandatanganan nota kesepahaman antara PT SMI dengan Pemkab Kolaka Timur.
Andi Merya memenuhi keinginan Ardian dan mengirimkan uang sebesar Rp2 miliar ke rekening bank milik Laode M. Syukur. Pemberian uang sebagai tahap awal kompensasi itu juga diketahui LM Rusdianto Emba.
KPK menduga tersangka Ardian menerima 131.000 dolar Singapura atau setara dengan Rp1,5 miliar, yang diberikan langsung di rumah pribadi-nya di Jakarta, dan Laode M Syukur menerima Rp500 juta.
Tersangka Ardian juga diduga aktif memantau proses penyerahannya, meskipun saat itu dia sedang melaksanakan isolasi mandiri, dengan selalu berkomunikasi terhadap beberapa orang kepercayaan yang sudah dikenalkan dengan Laode M. Syukur.
KPK menyebut permohonan pinjaman dana PEN yang diajukan Andi Merya disetujui dengan adanya bubuhan paraf Ardian pada draf final surat Menteri Dalam Negeri ke Menteri Keuangan.