Semarang (ANTARA) - Sejak Partai Nasional Demokrat mengumumkan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden, gesekan yang berakar pada pembelahan politik kubu Kampret dan Cebong di jagat maya kembali memanas.
Partai NasDem yang pada Pemilu Presiden 2019 pendukung Presiden Joko Widodo mendadak ketiban sebutan baru: Nasdrun. Pelabelan pejoratif nan tidak sehat ini layak diwaspadai karena bisa jadi merupakan sinyal pelanggengan polarisasi politik warisan masa lalu.
Setiap partai politik memiliki hak untuk mencalonkan siapa pun yang dianggap kompeten dan tidak bermasalah dengan hukum untuk dicalonkan sebagai pemimpin. NasDem pun punya kalkulasi dan pertimbangan memilih Anies Baswedan sebagai bakal capres.
Namun Pilkada DKI Jakarta 2017 memang menyisakan perseteruan yang berlanjut pada Pemilu Presiden 2019. Meski dua hajatan akbar pemilihan langsung tersebut sudah berakhir, pelabelan dua kubu yang saling merendahkan tersebut belum lenyap. Setidaknya, dua kubu tersebut masih berseteru, terutama di dunia maya.
Keputusan NasDem mengusung Anies sebagai bakal calon presiden menjadi penyulut besar bagi kedua kubu untuk kembali melanjutkan perseteruan di palagan dunia maya. Sangat bisa jadi perang konten yang berisi kata-kata, audio visual, hingga meme, bakal kian memanas bersamaan dengan datangnya tahun politik pada 2023 hingga 2024.
Perseteruan dua kubu--sebagian di antaranya harus diselesaikan melalui pengadilan—semula diperkirakan bakal mereda lalu lenyap ditelan waktu. Namun, prediksi tersebut salah. Ternyata dua kubu, baik yang jagoannya menang atau kalah, tetap memelihara energi dan pikiran untuk melanjutkan perang konten hingga hari ini.
Menurut catatan Bareskrim Polri, sepanjang Januari – Mei 2022 saja, ada 33 perkara ujaran kebencian yang ditangani kepolisian. Memanasnya suhu politik dikhawatirkan bakal dibarengi dengan kenaikan produksi ujaran kebencian.
Oleh karena itu mencuat kecemasan pada Pemilu 2024, polarisasi politik seperti terjadi pada pemilu sebelumnya akan kembali terulang. Ada kekhawatiran pula isu politik identitas dan SARA akan kembali mewarnai perjalanan menuju Pemilu 2024.
Sebelum bara dalam sekam tersebut membesar, sudah seharusnya disiapkan mitigasi agar semua rambu dipastikan dipatuhi oleh aktor-aktor politik beserta pendukungnya.
Ancaman pidana seperti tertuang dalam UU ITE atau KUHP tampaknya bukan menjadi sesuatu yang menggentarkan. Satu pelaku ujaran kebencian masuk bui, tak lama kemudian muncul lagi produsen hate speech. Seolah ada energi berlebih untuk merisak kubu lain.
Lazimnya di negara demokrasi, setiap kontestasi politik selalu dibarengi dengan persaingan keras dan sengit. Kekuasaan memang menjadi magnet besar bagi banyak orang untuk merengkuhnya. Kalaupun tidak bisa, paling tidak masih memiliki kesempatan berada di lingkar kekuasaan. Karena, dari arena inilah mereka bisa mendapatkan akses di berbagai bidang.
Mencerahkan
Seperti halnya dalam permainan, agar persaingan politik itu sehat dan mencerahkan publik dan para aktor politik, selain tunduk pada aturan main, mereka seharusnya fokus beradu program, visi, dan misi. Dari sinilah publik bisa menilai seberapa kompeten kontestan tersebut layak menduduki jabatan publik.
Pertarungan gagasan dalam menyelesaikan masalah yang disampaikan kontestan secara elegan, misalnya, akan memberi edukasi politik bagi publik. Masyarakat bisa menilai kapabilitas seseorang ketika diminta merumuskan ide untuk menjawab permasalahan bangsa.
Masalah yang dihadapi negara selalu kompleks dan multidimensional karena itu pemimpin yang terpilih wajib memiliki kapasitas merumuskan jawabannya.
Kritik, begitu pula oposisi, di negara demokrasi mendapatkan tempat terhormat sepanjang itu dimaksudkan untuk mengoreksi kebijakan yang berjalan menyimpang. Tentu ada adab dan rambu menyangkut cara penyampaiannya demi menumbuhkan iklim politik yang sehat.
Pemimpin visioner pasti memiliki konsep yang operasional tentang bagaimana melepaskan Indonesia dari impor bahan bakar minyak fosil. Dia pun pasti mengantongi strategi menjadikan negeri ini memiliki kedaulatan pangan, bukan sekadar ketahanan pangan, misalnya.
Dalam perebutan kepemimpinan politik, menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, pertarungan antarkontestan seharusnya menyasar program, visi, dan misi, bukan malah mengeksploitasi isu SARA demi meraih kekuasaan.
Kemenangan yang diraih atas keberhasilan mengeksploitasi politik identitas dan SARA hanya akan menyisakan luka panjang bagi pihak yang kalah sekaligus berpotensi memecah belah bangsa dan menghancurkan keberagaman.
Politik akomodasi Presiden Joko Widodo dengan menempatkan Prabowo Subianto dalam posisi strategis sebagai Menteri Pertahanan ternyata tidak serta-merta menurunkan tensi perseteruan kubu Cebong dan Kampret.
Bahkan, bila mengikuti perang konten dari dua kubu di lini media sosial hari ini, berpotensi masih akan berlanjut hingga tahun 2024. Para pendengung (buzzers) yang berseteru di jagat maya, bila menyimak peta besarnya, tidak berbeda dibanding sebelumnya.
Setidaknya ada tiga aktor yang ikut membentuk iklim di jagat virtual saat ini, yakni politikus, media arus utama, dan media sosial yang telah melahirkan begitu banyak pemengaruh serta pendengung.
Dengan kekuatan jumlah pengikut (followers) mencapai ratusan ribu, konten kontroversial dan polemis yang diunggah pendengung akan cepat direplikasi, menyebar, kemudian membentuk bentang perkubuan di dunia maya.
Di era digital, batas dunia maya dengan nyata kian menipis karena yang terjadi di dua jagat itu merupakan cerminan realitas.
Betapa besar pengaruh pendengung tersebut dalam membentuk persepsi dan citra warganet terhadap subjek atau peristiwa yang diperbincangkan. Ada yang sengaja memanipulasi fakta atau peristiwa dengan tujuan tertentu yang diinginkan. Ada yang membingkai (framing) sedemikian rupa sehingga terjadi pembelokan fakta dan peristiwa. Ada pula yang memang sejak awal memproduksi konten diniatkan untuk semata menyerang kubu sebelah.
Suka tidak suka dan diakui atau tidak, fenomena pendengung memang ada dan memiliki andil dalam membentuk opini warganet. Bagi warganet yang orientasi pikiran, sikap, dan pilihannya satu frekuensi dengan pendengung, konten yang diunggah buzzer bisa menjadi amunisi untuk menyerang kubu lain.
Mereka punya andil membentuk perkubuan dan perseteruan, setidaknya di dunia maya, dalam banyak hajatan pemilihan di berbagai level.
Konten yang mendapat dukungan terkadang bukan karena berbasis fakta, melainkan semata karena ada kesamaan preferensi warganet dengan pengunggahnya. Konten hoaks yang diunggah terus-menerus seolah menjadi kebenaran. Tidak berlebihan bila zaman sekarang ini kita tengah berada pada masa post-truth alias pascakebenaran.
Mengingat besarnya pengaruh mereka dalam menciptakan kekeruhan pertarungan wacana di dunia maya, sudah saatnya tidak ada lagi aktor-aktor politik yang menggunakan tangan-tangan mereka yang selama ini memiliki jejak rekam lebih banyak menciptakan kekeruhan di dunia maya.
Betapa pun riuhnya perbincangan hingga pertarungan ide atau wacana di dunia maya, para politikus dan warganet tetap memiliki tanggung jawab menjaga ekosistem di jagat virtual agar tetap sehat.
Publik harus makin melek informasi, kritis, dan memiliki nyali melawan hoaks dengan menyajikan informasi yang faktual melalui platform yang dinilai efektif untuk memerangi kebohongan.
Media arus utama (mainstream) juga wajib mempertahankan idealisme dengan tetap memelihara independensi bukan malah terseret dalam perseteruan. Banyak pihak menaruh harapan besar kepada media arus utama (cetak, daring, televisi, dan radio) agar berperan menjadi penjernih atas kekeruhan informasi di dunia internet.
Media arus utama, yang dalam kerjanya menjunjung kode etik jurnalistik dan selalu memeriksa setiap informasi dan fakta sebelum memublikasikannya, memang layak mengemban tugas sebagai penjernih informasi di dunia maya.
Oleh karena itu pada pada hajatan akbar Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, media arus utama punya tanggung jawab profetik untuk selalu menyajikan informasi presisi.
Tulisan ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menumbuhkan iklim politik sehat di dunia maya jelang Pemilu 2024