Makassar (Antaranews Sulsel) - Pemerintah Indonesia mempunyai cita-cita pada masa mendatang menjadi negara pengekspor dengan cara meningkatkan swasembada pangan.
Namun, upaya untuk meningkatkan produksi tidaklah mudah karena ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam meningkatkan produksi komoditas pangan andalan di Indonesia.
Indonesia sejak dipimpin Presiden Joko Widodo pada 2014 menargetkan swasembada pangan pada lima tahun pemerintahannya. Pada 2015, pemerintahan Jokowi-JK menargetkan Indonesia swasembada pangan dalam tiga tahun ke depan atau tepatnya 2018.
Ada yang menyebut target tersebut terlalu ambisius mengingat pemerintah sebelumnya selalu gagal mewujudkan swasembada pangan. Meski diragukan, Presiden Joko Widodo tetap merasa yakin pemerintahannya bisa mewujudkan swasembada pangan.
Di Sulawesi Selatan, berbagai upaya juga dilakukan untuk meningkatkan produksi, yakni dengan cara menggandeng Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wilayah IV Makassar untuk mengoptimalkan pelaksanaan pola tanam.
Beberapa alasan yang melatari kerja sama itu adalah dengan menekan laju inflasi agar minat masyarakat dalam membeli juga tetap tinggi.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sulawesi Selatan Bambang Kusimarso pada penandatanganan perjanjian kerja sama menyampaikan jika komoditas pertanian, seperti beras, cabai, bawang merah, dan lainnya adalah bagian dari target pemerintah untuk swasembada pangan.
Di Sulsel, ketiga komoditas pangan itu cukup menjadi primadona dengan tingkat produksi yang cukup baik dan bahkan beras selama hampir satu dekade selalu surplus di angka dua juta ton per tahun.
"Komoditas pertanian seperti beras, cabai, bawang merah, adalah salah satu penyumbang inflasi terbesar, dengan informasi cuaca yang akurat, pasokan komoditas tersebut dapat terjaga dan ini berdampak pada inflasi," katanya.
Bambang mengatakan dukungan informasi cuaca sangat erat terkait dengan ketepatan waktu tanam, panen, dan kebutuhan infrastruktur sektor pertanian dan perikanan.
Hal ini akan berpengaruh pada harga komoditas, daya beli, dan pada akhirnya memengaruhi inflasi.
"Karena itu informasi cuaca di sentra-sentra produksi komoditas sangat penting, apalagi Sulsel dikenal sebagai lumbung pangan," tuturnya.
Beberapa poin kerja sama yang akan dilakukan oleh BI dan BMKG, antara lain pertukaran data atau informasi cuaca, forum koordinasi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta bentuk kerja sama lain sesuai kewenangan masing-masing institusi.
"BMKG misalnya dapat kita undang dalam forum Tim Pengendali Informasi Daerah (TPID) untuk memberikan gambaran mengenai kondisi cuaca," kata dia.
Ia mengatakan stabilitas harga dan inflasi di Sulsel, sejauh ini dapat dijaga dalam sasaran yang ditetapkan dalam tiga tahun terakhir, namun membutuhkan kerja sama semua pihak, termasuk BMKG.
"Kami percaya BMKG akan memberi pengaruh positif," ucapnya.
Bambang mengungkapkan pada 2017 merupakan tahun yang penuh tantangan dalam pengendalian laju inflasi di Sulawesi Selatan,
Beberapa komunitas mengalami tekanan harga selama kurun waktu 2013-2017, seperti ikan bandeng/bolu, ikan layang/benggol, beras, bawang merah, dan cabai merah, di mana komoditi terebut produksinya sangat dipengaruhi cuaca.
Peran BMKG dalam memberikan informasi cuaca melalui prakiraannya akan membantu para petani dalam menyiapkan segala sesuatunya untuk menuntaskan masa panennya.
BMKG diyakini memberikan andil yang besar mendorong kestabilan harga (inflasi), informasi iklim dan cuaca yang akurat tentunya menjadi faktor penting yang sangat membantu pelaku usaha dalam pengambilan keputusan, saat ini maupun pada masa mendatang.
"Mereka ahli dalam memberikan prakiraan dan kalaupun meleset itu tidak jauh-jauh dari perkiraannya. Setidaknya, informasi dari BMKG akan menjadi landasan bagi para petani dalam memaksimalkan pola tanamnya," terangnya.
Bambang mengatakan dukungan informasi cuaca sangat erat terkait dengan ketepatan waktu tanam, panen, dan kebutuhan infrastruktur sektor pertanian dan perikanan.
Hal ini akan berpengaruh pada harga komoditas, daya beli dan pada akhirnya memengaruhi inflasi.
Bambang menegaskan kerja sama ini sangat penting dalam upaya pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Sulsel.
"Diharapkan dapat memberikan manfaat dan dukungan yang optimal kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan ekonomi," tuturnya.
Sekretaris Utama BMKG Widada Sulistya mengatakan kerja sama ini langkah maju bagi BMKG, karena melayani pihak yang tidak secara langsung terdampak cuaca.
"Kami akan menyediakan layanan informasi sesuai kebutuhan BI untuk menjaga inflasi," katanya.
Penandatanganan perjanjian kerja sama itu untuk memafaatkan sumber daya para pihak secara optimal untuk mendukung pelaksanaan tugas dan kewenangan, guna membantu mendorong kegiatan perekonomian di Provinsi Sulawesi Selatan.
Ruang lingkupnya, meliputi pertukaran data dan/atau informasi, forum koordinasi data dan/atau informasi, pengembangan kompetensi SDM, dan bentuk kerja sama lain sesuai tugas dan kewajiban para pihak.
Laju Inflasi
Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan yang melakukan pendataan terhadap laju inflasi maupun deflasi di provinsi ini menyatakan jika secara kalender tahunan atau year to date (ytd) berada pada angka 2,62 persen.
Kepala BPS Sulsel Yos Rusdiansyah menyatakan inflasi pada angka 2,62 persen itu didapatkan dari hasil akumulasi sepanjang Januari hingga November 2018.
Meskipun masih menyisakan satu bulan lagi, angka inflasi disebutnya tidak akan melampaui tiga persen.
"Kalau melihat pendataan dan dengan penghitungan secara tahun kalender angkanya masih moderat di bawah angka tiga persen atau tepatnya 2,62 persen," ujarnya.
Berdasarkan hitungan tahunan atau secara year on year (yoy) inflasi Sulsel juga masih di bawah angka empat persen. yakni sekitar 3,68 persen. Angka 3,68 persen itu berdasarkan perbandingan November 2018 terhadap November 2017.
Menurut Yos, penghitungan inflasi dan deflasi di Sulsel didasarkan pada hasil survei harga konsumen yang dilakukan oleh petugas-petugas survei di beberapa pasar tradisional dan modern yang menjadi sampelnya.
Yang menjadi sampel pengambilan survei melingkupi kabupaten dan kota di Sulsel, yakni Bulukumba, Watampone, Makassar, Parepare, dan Palopo.
Khusus untuk November 2018, BPS Sulsel menyatakan adanya kenaikan harga dan indeks pada beberapa komoditas.
Namun tarif jasa penerbangan menjadi pendorong inflasi sekitar 0,28 persen pada November 2018.
Ada enam kelompok pengeluaran yang ditunjukkan oleh naiknya indeks harga konsumen (IHK) dan menjadi penyebab terjadinya inflasi.
Inflasi 0,28 persen yang terjadi di Sulawesi Selatan pada November 2018 disebabkan oleh naiknya harga pada enam kelompok pengeluaran yang ditunjukkan oleh naiknya indeks harga konsumen pada kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 1,18 persen.
Pada kelompok kesehatan mengalami kenaikan 0,30 persen, kelompok sandang (0,17 persen), kelompok perumahan, air listrik, gas dan bahan bakar (0,14 persen).
Untuk kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga (0,10 persen), kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau memberi kontribusi (0,07 persen), sedangkan kelompok bahan makanan mengalami penurunan indeks harga sebesar 0,04 persen.
Secara tahun kalender atau dari Januari-November 2018, laju inflasi Sulawesi Selatan tercatat 2,62 persen dan laju inflasi year on year November 2018 terhadap Oktober 2017 sebesar 3,68 persen.
Beberapa komoditas yang memberikan andil tertinggi terhadap inflasi Sulawesi Selatan pada November 2018, antara lain tarif angkutan udara, emas perhiasan, kangkung, beras, ikan cakalang, daging sapi, cabai merah, sawi hijau, anggur, dan bensin.
Komoditas yang mengalami penurunan harga, adalah daging ayam ras, ikan bandeng, tomat buah, tomat sayur, telur ayam ras, bawang merah, pepaya, jagung manis, bahan bakar rumah tangga, dan gula pasir.
Setiap bulan itu ada komoditas yang mengalami kenaikan dan ada juga yang turun. Komoditas yang turun itulah disebutnya sebagai yang menjadi penyeimbang inflasi.