Makassar (ANTARA News) - Akibat alat pakkaja (bubu hanyut) yang ramah lingkungan diganti dengan bale-bale (sejenis rumpon yang terbuat dari daun kelapa) sehingga stok ikan terbang telah merosot di Selat Makassar.
Bale-bale dapat menarik gerombolan ikan terbang untuk meletakkan telurnya dan memiliki kapasitas mengeksploitasi telur ikan terbang, sementara pakkaja, lebih konservatif dan ramah lingkungan, karena tidak mengeksploitasi telur dan induk ikan secara besar-besaran,
Prof Dr Ir Syamsu Alam Ali, MS dalam orasi penerimaan jabatan guru besar Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar, Senin, mengatakan, penggunaan kedua alat tersebut perlu dikendalikan jumlah dan kapasitasnya melalui peraturan dan perizinan sebelum ada alat yang menggantikannya.
"Perlu menghidupkan kembali kearifan lokal penggunaan alat pakkaja yang ramah lingkungan," kata Syamsu Alam Ali dalam orasinya berjudul "Degradasi Stok, Pengelolaan dan Konservasi Ikan Terbang di Selat Mahassar dan Laut Flores Sulawesi Selatan" pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Unhas dipimpin Rektor/Ketua Senat Prof Dr dr Idrus A. Paturusi.
Sekitar tahun 1960-an, hampir semua kabupaten di Sulsel dan Sulbar yang berbatasan dengan Selat Makassar dan Laut Flores adalah basis penangkapan ikan terbang. Mulai dari Selayar, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Makassar, Pangkep, Barru, Parepare, Pinrang, Polmas, sampai Mamuju merupakan daerah basis penangkapan jenis ikan tersebut.
Namun, mulai tahun 1985 daerah yang jadi basis mulai berkurang. Hingga kini basis daerah penangkapan ikan terbatas di Takalar, Pangkep, Barru, Pinrang, Mamuju, dan Polmas.
"Berkurangnya daerah ini disebabkan stok ikan terbang telah merosot akibat penangkapan berlebihan sehingga sebagian nelayan di beberapa kabupaten menghentikan usaha penangkapan ikan terbang dan beralih ke usaha lain," kata guru besar dalam Bidang Manajemen dan Konservasi Sumberdaya Perikanan tersebut pada acara yang juga dihadiri Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Dr Sudirman Saad, SH, MHum.
Setiap tahun, bale-bale mulai beroperasi pada bulan Mei ketika populasi ikan terbang di atas 50 persen fase mijah. Bale-bale mengeksploitasi telur tertinggi antara Juni-Juli, dan berakhir antara September-Oktober. Alat tangkap ini biayanya lebih murah. Mudah dibawa dalam jumlah besar, karena bisa ditumpuk di atas kapal.
"Secara ekologi, bale-bale sangat berbahaya bagi kelestarian sumberdaya ikan terbang karena memutus siklus hidup individu secara massiv (besar-besaran)," katanya.
Dalam soal produksi, Syamsu Alam Ali mengungkapkan, pada tahun 1980, telur ikan terbang pernah menjadi penghasil devisa negara kedua setelah udang di Sulsel. Namun, mulai 1985, kontribusi telur ikan terbang terhadap devisa negara menurun sampai sekarang.
"Volume ekspor telur ikan terbang pada tahun 1980 sebesar 368,60 ton dengan nilai 5,84 juta dolar As, kemudian tahun 1990 produksi turun menjadi 123,10 ton dengan nilai 1,99 juta dolar AS," katanya..
Pada tahun 2000 produksi turun menjadi 93,40 ton dengan nilai 2,14 juta dolar AS, Walaupun pada tahun 2003 volume ekspor meningkat 344,40 ton, tetapi sepenuhnya bukan produksi Selat Makassar, melainkan sudah masuk produksi dari luar seperti dari Laut Seram.
Menurut Syamsu Alam Ali, ketika usaha penangkapan telur ikan terbang di Selat Makassar tidak menguntungkan lagi, mulai tahun 2003 nelayan Galesong melakukan ekspansi penangkapan telur di Laut Seram dan sekitarnya yang berbasis di Fak-Fak. Pada tahun 2007 jumlah kapal telur ikan terbang (patorani) di Fak-Fak meningkat tajam hingga 900 unit, baik dari Galesong maupun kapal lokal dan mendaratkan sekitar 400 ton telur ikan terbang di Fak-Fak.
"Namun, hasil tangkapan telur per unit kapal atau catch per unit effort (CPUE) pada tahun tersebut menurun dibandingkan tahun sebelumnya," ujarnya.
Peningkatan kapasitas penangkapan pada tahun 2007 menyebabkan produksi telur tahun berikutnya menurun dan sejumlah nelayan Galseong mengurungkan niatnya ke Laut Seram, karena khawatir usahanya tidak menguntungkan. Dalam komunikasinya dengan pengusaha Telur Ikan terbang di Galesong, H. Gassing, Syamsu Alam Ali, mengatakan, Laut Seram merupakan daerah penangkapan baru, namun cepat atau lambat bisa mengalami degradasi stok, seperti yang dialami Selat Makassar dan Laut Flores, jika jumlah kapal penangkap telur ikan terbang tidak dikendalikan. (T.KR-AAT/F003)