Jakarta (ANTARA) - Pada peringatan Hari Olahraga Nasional Ke-37 dua tahun lalu, Presiden Joko Widodo meminta ada evaluasi total terhadap ekosistem prestasi olahraga Indonesia yang dinilai masih kurang dan perlu ditingkatkan.
Presiden juga mengingatkan bahwa rancangan tata kelola pembinaan atlet harus disinergikan dengan baik, mulai dari daerah sampai pusat dan dari lembaga pendidikan umum sampai lembaga pendidikan olahraga.
Setahun berlalu, saat peringatan Hari Olahraga Nasional Ke-38, Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali lantas memperkenalkan sebuah cetak biru pembinaan olahraga yang kemudian disebut Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) sebagai jawaban atas keresahan Presiden Jokowi yang mempertanyakan, “mengapa dari 270 juta penduduk, yang mayoritas adalah generasi muda, Indonesia masih kekurangan atlet berbakat?”
DBON yang disusun bersama para pemangku kebijakan olahraga, pakar olahraga, akademisi, praktisi, dan organisasi olahraga itu kini sudah mendapat payung hukum berupa Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2021 dan diharapkan dapat menjadi arah kebijakan pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional jangka panjang secara berkelanjutan.
Sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 Perpres Nomor 86 Tahun 2001, DBON bertujuan meningkatkan budaya olahraga di masyarakat, meningkatkan kapasitas, sinergi, dan produktivitas olahraga prestasi nasional, dan memajukan perekonomian nasional berbasis olahraga.
DBON juga berfungsi memberikan pedoman kepada Pemerintah Pusat hingga pemerintah kabupaten/kota, organisasi olahraga, dunia usaha dan industri, akademisi dan masyarakat dalam penyelenggaraan keolahragaan nasional sehingga pembangunan keolahragaan nasional dapat berjalan secara efektif, efisien, unggul, terukur, akuntabel, sistematis, dan berkelanjutan.
Setelah resmi dikenalkan, sosialisasi dan koordinasi dengan kementerian dan lembaga pun dilakukan. Koordinasi juga melibatkan pemerintah provinsi dan daerah, lembaga pendidikan hingga sejumlah perguruan tinggi di Indonesia untuk bersama-sama menciptakan "pabrik" pembinaan olahraga prestasi dengan cara membina talenta atlet sejak muda.
Menpora juga telah menunjuk empat universitas--yang memiliki fakultas ilmu keolahragaan--sebagai sentra pembinaan DBON untuk para calon atlet. Empat universitas tersebut adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dan Universitas Negeri Semarang (Unnes). Pemilihan kampus sebagai sentra dinilai tepat karena memiliki fasilitas olahraga yang cukup lengkap serta laboratorium penunjang sport science.
Implementasi DBON
Sejak diperkenalkan setahun lalu, DBON sudah mulai terlihat wujudnya. Perekrutan calon atlet juga telah terlaksana di kampus-kampus, di antaranya Unesa dan UNJ. Proses seleksi dilakukan secara terbuka oleh Kemenpora dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Manajer Teknik DBON Unesa Dwi Cahyo Kartiko mengatakan ada 26 orang yang lulus seleksi untuk mengikuti program pembinaan di Unesa untuk cabang olahraga taekwondo, panahan, dan renang. Proses seleksi dilakukan mengikuti standar seperti aspek antropometri, kesehatan, dan biomotorik atau kemampuan fisik, serta tes skill sesuai cabang olahraga pilihan masing-masing.
Kebutuhan siswa yang terpilih untuk mengikuti program latihan DBON itu seluruhnya ditanggung negara, termasuk akomodasi, transportasi, uang saku, dan uang sekolah. Kampus juga menyediakan fasilitas tenaga medis, fisioterapis, analis performa, dan biomekanik untuk mendukung perkembangan para calon atlet.
Implementasi DBON juga sudah dimulai di UNJ. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan UNJ Johansyah Lubis mengatakan ada 32 anak usia rata-rata 12 tahun yang akan mengikuti program DBON pada lima cabang olahraga, yaitu atletik, menembak, panahan, panjat tebing, dan BMX.
"Mereka akan berlatih dan belajar selama 10 tahun sehingga harapannya ketika sudah memasuki usia emas, mereka bisa tampil di berbagai event internasional karena kami juga di sini melibatkan pengurus induk cabang olahraga agar anak-anak ini bisa terpantau," kata Johansyah ketika diwawancarai ANTARA.
Anak-anak itu akan dilatih oleh pelatih dan tenaga pendukung olahraga yang juga direkrut untuk memaksimalkan program pembinaan DBON di sentra pelatihan.
Selain latihan, baik UNJ maupun Unesa juga diberi amanat untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar kelas atlet di sekolah Labschool. Meski demikian, Johansyah mengatakan memang masih perlu ada penyesuaian kurikulum yang dikhususkan bagi atlet sehingga mereka bisa tetap fokus berlatih tanpa melupakan tanggung jawabnya sebagai pelajar.
Pembinaan berkelanjutan
Meski sudah ada DBON, perjalanan menuju kejayaan prestasi olahraga nasional nyatanya masih sangat panjang. Mantan pebulu tangkis nasional Susi Susanti menyebut kunci utama dalam mencetak juara adalah proses pembinaan yang teratur, terencana, konsisten dan berkelanjutan. Tak kalah penting, para atlet juga harus diberi kesempatan bertanding tidak hanya di ajang nasional, tetapi juga pentas internasional.
Susi juga menyadari target utama prestasi olahraga dalam DBON adalah menembus 10 besar Olimpiade 2045. Namun menurutnya, pemerintah juga seharusnya memikirkan target pembinaan olahraga untuk jangka pendek serta jangka menengah.
“Paling tidak, step pertama ada di SEA Games. Bagaimana kita bisa juara di semua sektor. Lalu setelah itu ada target yang lebih tinggi di Asian Games. Itu yang harus dilakukan, perencanaan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang karena tidak hanya Olimpiade, tetapi juga ada kejuaraan dunia,” kata Susi kepada wartawan kantor berita Indonesia ini.
Peraih emas Olimpiade Barcelona 1992 itu juga menilai tidak seharusnya semua cabang olahraga dipukul rata harus bisa bersaing di pentas tertinggi Olimpiade karena setiap cabang olahraga memiliki level yang berbeda-beda. Dia berharap pemerintah juga bisa melakukan pembenahan pembinaan terhadap cabang olahraga yang saat ini masih belum bisa berbicara di tingkat internasional.
DBON telah menetapkan 14 cabang olahraga prioritas yang artinya mendapat perhatian lebih dari pemerintah, yaitu bulu tangkis, angkat besi, panjat tebing, panahan, menembak, wushu, karate, taekwondo, balap sepeda, atletik, renang, dayung, senam artistik, dan pencak silat. Namun dari jumlah tersebut hanya beberapa cabang olahraga saja yang mampu meloloskan atletnya tampil di ajang Olimpiade.
“Menyesuaikan target dengan kemampuan itu menurut saya adalah salah satu rencana yang lebih terukur. Semua cabang olah raga DBON ini harus menjadi juara di dunia, betul itu sangat betul, semua kan punya tujuan dan punya mimpi, tapi untuk menjadi juara dunia, Olimpiade itu ada tahapannya,” kata Susi yang juga pernah menjabat Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI itu.
Selain soal pembinaan, Susi juga menyoroti masalah jaminan kesejahteraan para atlet. Dia menilai untuk mencetak juara, terlepas dari apresiasi berupa bonus yang diberikan pemerintah, para atlet juga harus mendapat kepastian terkait masa depan setelah pensiun.
Undang-Undang Keolahragaan, yang merupakan revisi dari RUU Nomor 3 tahun 2005 terkait Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), sebetulnya telah mengatur di dalamnya terkait penegasan status profesi atlet. Dalam UU tersebut ditegaskan penguatan olahragawan sebagai profesi, pengaturan mengenai kesejahteraan serta penghargaannya bukan hanya dalam bentuk pemberian kemudahan beasiswa, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan kewarganegaraan melainkan juga adanya perlindungan jaminan sosial melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Dalam perayaan Haornas Ke-39 ini, Susi berharap olahraga bisa menjadi salah satu prioritas dan mendapat perhatian lebih, tidak hanya saat pelaksanaan event-event besar olahraga seperti Asian Games dan Olimpiade, tetapi juga kejelasan masa depan para atlet yang sudah berjasa membawa bangga nama Indonesia di panggung dunia.
Kekhawatiran Presiden Jokowi dan juga masyarakat pada umumnya soal prestasi olahraga nasional bisa saja terjawab dalam beberapa tahun ke depan selama program DBON yang sudah mulai berjalan ini bisa diteruskan dan tidak berakhir menjadi pemanis saja atau “proyek mangkrak” ketika terjadi pergantian menteri nanti.
Sebab, untuk mencetak satu juara saja prosesnya sangat panjang, bahkan bisa membutuhkan waktu hingga puluhan tahun.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Jalan masih panjang menuju kejayaan prestasi olahraga Indonesia