Makassar (ANTARA) - Pemerintah Kota Makassar, Sulsel siap mengevaluasi kenaikan pajak tempat hiburan menyusul rencana pemerintah menerapkan kenaikan pajak itu antara 40-75 persen sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
"Sesuai dengan aturan, maka kita mengikut dulu apa yang ada di keputusan di legislatif. Namun, kita lihat perkembangannya ke depan apabila terjadi hal-hal yang memberatkan para pengusaha hiburan, kita akan evaluasi," ujar Penjabat Sekretaris Daerah Kota Makassar Firman Hamid Pagarra, di Makassar, Selasa.
Dia mengatakab dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 ada pasal yang mengatur tentang evaluasi, sehingga pihaknya masih menunggu perkembangan selanjutnya, termasuk masukan dari para pengusaha tempat hiburan.
Pihaknya juga mempersilakan pemangku kepentingan terkait apabila akan menggugat aturan tersebut.
Sebab, di aturan itu penerapan tarif pajak pada barang dan jasa tertentu di bidang jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau SPA dipatok paling rendah 40 persen hingga 75 persen, sedangkan 11 di antara 12 kelompok yang masuk jasa kesenian dan hiburan tradisional tetap dikenakan tarif maksimal 10 persen.
"Ada pasal mengenai evaluasi. Kalau di Jakarta sudah berpolemik, di Jakarta saja kenaikan 30 sampai 40 persen sudah demo. Memang kenaikannya berat sekali. Kalau ada yang mau (menggugat) silakan," kata Firman yang juga Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Makassar ini.
Secara terpisah, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan Anggiat Sinaga merespons rencana kenaikan pajak hiburan 40-75 persen yang dinilai akan memberatkan pengusaha tempat hiburan dan dampaknya perusahaan akan mengalami kolaps secara perlahan.
"Tidak mungkin usaha bisa bertahan dengan pajak sampai 75 persen, belum lagi ada tambahan servis 10 persen. Artinya, bisa sampai 85 persen. Tentu ini tidak masuk logika hitungan, misalnya Rp100 rupiah diterima lalu masuk ke pemerintah (pajak 85 persen), yang di diterima hanya 15 rupiah, bagaimana ceritanya, bayar listrik, gaji karyawan siapa," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya meminta pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan pajak hiburan tersebut, apalagi saat ini industri hiburan mulai tumbuh usai terdampak pandemi COVID-19.
Imbasnya, katanya, bila kenaikan pajak diterapkan maka secara tidak langsung pengusaha akan dirugikan dan terjadi pengurangan lapangan kerja, sebab usaha hiburan itu bagian dari pariwisata.
Manager Entertaimen Hotel Claro Askar mengatakan apabila kenaikan pajak diterapkan maka usaha-usaha hiburan secara perlahan akan gulung tikar dan tentunya dampak dari itu terjadi peningkatan pengangguran.
"Bila pajak dinaikkan contohnya, bill (nota tagihan) pengunjung Rp2 juta, ditambah 40 persen, maka total dibayar pengunjung Rp2,8 juta, ada Rp800 ribu tambahan pajak, maka pengunjung berpikir sehingga secara perlahan tempat hiburan mulai sepi dan tidak memungkinkan untuk eksis," katanya.