Jakarta (ANTARA) - Pemilihan Umum 2024 menjadi pesta demokrasi bagi masyarakat Indonesia di seluruh negeri dan warga negara Indonesia (WNI) yang berada di seluruh penjuru dunia.
Semua gegap gempita menyambut pemilu yang menjadi sarana bagi mereka untuk memilih para calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota.
Pemungutan suara yang akan digelar pada 14 Februari 2024 di Indonesia dan beberapa lebih awal di luar negeri itu akan menentukan orang-orang yang akan memimpin bangsa dan mewakili suara rakyat pada masa depan.
Berbagai kegiatan dilakukan untuk mempersiapkan pemilu, mulai dari kampanye untuk menyosialisasikan dan mendorong pemilu damai, persiapan logistik, hingga persiapan lain untuk memastikan pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Janji-janji politik disampaikan para calon pemimpin dan wakil rakyat di ruang-ruang publik sehingga masyarakat bisa mengenali dan memahami visi misi yang akan menentukan nasib bangsa ke depan.
Di sisi lain, aspirasi masyarakat juga diserap oleh para calon wakil rakyat untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam visi misi dan dilaksanakan pada saatnya mereka terpilih.
Salah satu acara yang diadakan untuk menyerap aspirasi itu, terutama dari para diaspora Indonesia di luar negeri, adalah Diaspora Know Your Calegs (DKYC) yang diadakan oleh Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN).
Diadakan secara daring pada Senin, 22 Januari 2024 (waktu Indonesia), DKYC mempertemukan para diaspora Indonesia di luar negeri dan para calon anggota legislatif untuk DPR RI dari daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta II yang terdiri atas Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri.
Banyak aspirasi disampaikan oleh para diaspora Indonesia di luar negeri, salah satunya adalah dari Tunggul, salah seorang diaspora profesional Indonesia yang tinggal di Toronto, Kanada.
Dalam kesempatan itu, Tunggul menyuarakan perlunya kebijakan pemerintah yang berpihak kepada diaspora Indonesia dengan mengusulkan visa seumur hidup bagi mereka.
Pemberian visa yang ada saat ini, yang masa berlakunya 5-10 tahun dengan biaya pengurusan antara Rp12-Rp15 juta, cukup memberatkan bagi mereka mengingat tidak semua diaspora memiliki kondisi finansial yang cukup memadai.
"Mungkin mereka bisa kembali bawa modal. Tapi jangan dulu dilihat di depan bahwa 'Oh ini orang Indonesia punya banyak uang. Penekanannya jangan seperti itu," kata Tunggul.
Untuk itu, dia menggarisbawahi pentingnya keberpihakan melalui kebijakan yang berpihak kepada kepentingan para diaspora Indonesia di luar negeri.
Selanjutnya, dia juga mendorong adanya policy statement yang komprehensif dan kohesif yang membahas tentang diaspora Indonesia sehingga bisa mengoptimalkan peran mereka dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
"Ketika kita mau berbicara Indonesia Emas 2045, anggaplah diaspora ini sebagai salah satu kontributor menuju Indonesia Emas ini," katanya.
Selain itu, ia juga mengusulkan pembentukan badan koordinasi kepada Pemerintah yang secara khusus menangani permasalahan diaspora.
Berikutnya, aspirasi lain disampaikan juga oleh Sarina Oktasari, pengurus Indonesia Diaspora Network (IDN) global di Amerika Serikat (AS), yang menyampaikan permasalahan terkait kewarganegaraan anak-anak dari diaspora Indonesia di negara itu.
Dia bercerita tentang anak-anak dari diaspora Indonesia yang lahir di AS dan secara otomatis memungkinkan mereka untuk memiliki dua kewarganegaraan berdasarkan asas ius soli yang berlaku di AS.
Sementara itu, Indonesia menganut asas ius sanguinis, yang mengakui kewarganegaraan seseorang berdasarkan garis keturunan.
Dari situasi tersebut muncul permasalahan di mana anak-anak yang lahir dari diaspora Indonesia di AS tidak memiliki kewarganegaraan Indonesia meski pada akhirnya mereka kembali tinggal di Indonesia.
Jadi, yang ada pada saat ini di Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, ada namanya limited dual citizenship, yang secara terbatas hingga usia 18 tahun dalam waktu 3 tahun anak itu harus memilih kewarganegaraannya oleh Republik Indonesia.
Untuk itu, dia bertanya kepada para calon anggota legislatif tentang kemungkinan langkah yang akan diambil untuk memungkinkan anak-anak WNA dari diaspora Indonesia di sana untuk bisa kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dan berkontribusi bagi bangsa.
Karena, melepaskan warga negara Amerika itu tidak mudah, dan ini bukan hanya masalah satu generasi.
"Jadi, alangkah sayangnya kalau highly skilled educated itu hilang pada generasi-generasi berikutnya," kata dia merangkum aspirasinya.
Selain Sarina, ada juga aspirasi yang disampaikan Sandra Waworuntu, salah satu aktivis yang peduli terhadap kasus perdagangan manusia, khususnya di AS, Kanada, dan sekitarnya.
Sandra menunjukkan contoh kasus banyaknya pekerja migran Indonesia (PMI) yang pindah kewarganegaraan karena menjadi korban eksploitasi atau perdagangan manusia, di samping adanya peluang pekerjaan yang menawarkan permanent resident.
Meski telah pindah kewarganegaraan, ia mengaku para diaspora tersebut masih ingin memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi, harapan itu menjadi sulit karena mereka telah pindah kewarganegaraan.
"Meskipun kita ganti warga negara, meskipun kita bekerja di sini, seperti saya, saya tidak bisa menyimpan uang di Indonesia. Saya tidak bisa berbuat apa-apa di Indonesia," katanya.
Untuk itu, ia juga menanyakan langkah-langkah yang kemungkinan akan diambil para caleg ketika mereka terpilih untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut.
Lebih lanjut, aspirasi penting lain juga disampaikan oleh Sony Sigarlagi, seorang diaspora Indonesia yang tinggal di Kanada.
Sony menanyakan kemungkinan insentif yang mungkin bisa diberikan kepada para diaspora sehingga bisa menarik minat mereka untuk kembali dan berkontribusi bagi Indonesia.
"Adakah keinginan dari pemangku kepentingan di Indonesia untuk mencoba menarik mereka kembali untuk berkarya di Indonesia, seperti memberikan insentif-insentif atau segala sesuatu yang bisa membuat mereka ingin kembali?," tanya dia.
Janji politik
Dari berbagai aspirasi dan permasalahan yang disampaikan para diaspora tersebut, banyak tanggapan diberikan juga oleh para calon anggota legislatif yang sekaligus menyampaikan janji-janji politiknya bilamana mereka terpilih sebagai wakil rakyat.
Salah satunya adalah Abraham Sridjaja yang mewakili salah satu partai terkemuka.
Dari berbagai isu yang disampaikan para diaspora, Abraham menyatakan bahwa permasalahan diaspora tidak cukup untuk diselesaikan oleh anggota yang terpilih dari DKI 2 karena anggota DPR Dapil 2 hanya ada satu di Komisi I (yang menangani isu pertahanan dan luar negeri) dan hanya ada satu juga di Komisi 3 DPR (yang menangani permasalahan terkait hukum, HAM, dan keamanan).
"Jadi, perlu kerja sama dari seluruh dapil untuk bisa menyelesaikan masalah diaspora," katanya.
Sementara, terkait kemungkinan dwikewarganegaraan bagi WNI yang telah melepas kewarganegaraan Indonesia, Abraham menjawab hal itu tidak bisa dilakukan karena dapat menimbulkan permasalahan hukum yang serius.
Dia mencontohkan kasus saat ada tersangka yang lari ke Amerika dan menggunakan paspor Indonesia, tetapi dari Amerika dia pindah ke negara lain dengan menggunakan paspor lain sehingga menjadi perlindungan tersendiri bagi para pelaku kejahatan korupsi pada umumnya.
Sebaliknya, Devi Taurisa, Caleg DPR RI Dapil DKI II, yang juga dari salah satu partai terkemuka, menilai bahwa usulan dwikewarganegaraan itu bisa diusahakan.
"Betul banyak dinamika di sana. Banyak aspek keamanan yang harus dilakukan. Saya sependapat dengan UU No. 12 Tahun 2006 di mana ada kesempatan anak bangsa kita yang lahir dari dua kewarganegaraan berbeda boleh mencapai dwikewarganegaraan 30 tahun. Itu adalah satu kemajuan. Tapi apakah ini bukan suatu kemungkinan? Yes," katanya.
Meski demikian, dia tidak menyarankan usulan visa seumur hidup karena dinilai jauh lebih berbahaya. "Lebih baik kita buat sistem dwikewarganegaraan yang legal. Apa artinya? Pemberkasannya jelas," katanya menambahkan.
Sementara itu, caleg lainnya untuk DPR RI Dapil DKI Jakarta II, Hidayat Nur Wahid, mengaku sangat memahami permasalahan diaspora dan juga setuju dengan usulan pembentukan Dapil Luar Negeri secara khusus.
Dia juga setuju dengan usulan pembentukan badan yang secara khusus mengelola permasalahan yang dihadapi para diaspora Indonesia di luar negeri.
Dari berbagai aspirasi yang disampaikan para diaspora serta tanggapan para caleg atas berbagai permasalahan diaspora, seyogyanya dialog politik dan ruang-ruang diskusi lain yang memungkinkan keterbukaan berpendapat bisa menjadi sumber pencerahan bagi semua pihak.