Pemohon uji materi UU Pemilu nilai "presidential threshold" abaikan persebaran suara
Jakarta (ANTARA) - Pemohon uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menilai pemberlakuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden mengabaikan persebaran suara, sehingga melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945).
Dua pemohon dalam Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 ini ialah Direktur Eksekutif Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay dan pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini.
“Adanya ketimpangan populasi penduduk yang ditinjau dari persebaran daerah di Indonesia menunjukkan bahwa pentingnya persebaran suara di lebih dari setengah provinsi di Indonesia,” ujar kuasa hukum para pemohon, Ahmad Alfarizy dalam sidang perbaikan permohonan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (22/8), sebagaimana dikutip dari laman resmi MK, Jumat.
Menurut para pemohon, Pasal 222 UU Pemilu tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945, yang mengatur bahwa syarat keterpilihan presiden ialah memperoleh suara mayoritas absolut 50 persen + 1 dan memperoleh suara minimal 20 persen di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Namun permasalahannya, menurut para pemohon, Pasal 222 UU Pemilu justru berpengaruh besar dalam menghambat pemenuhan representasi keragaman kultural dan politik dalam pilpres.
Para pemohon meyakini, pasal yang mereka gugat telah membatasi kesempatan partai politik untuk mencalonkan calon presiden dan wakil presiden. Pasal tersebut juga dinilai menjadi faktor hanya terdapat dua pasangan calon dalam pilpres, seperti pada Pemilu 2014 dan 2019.
Hadar dan Titi berpendapat, tingginya ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku memaksa partai-partai untuk berkoalisi dengan tidak alamiah. Partai politik berkoalisi semata untuk mencapai ambang batas, sehingga mendorong kuatnya sentralisasi dukungan yang mengerucut pada dua pasangan calon saja.
Lebih lanjut, para pemohon juga menyoroti bahwa Pasal 222 UU Pemilu membuat ruang keterwakilan perempuan semakin sempit. Oleh karena itu, pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.
Menurut mereka, kekuatan perempuan dalam tubuh partai politik masih lemah sehingga perempuan tidak diprioritaskan dalam pencalonan presiden, terutama ketika partai diharuskan berkoalisi dengan syarat yang sangat besar.
“Dalam konteks partai politik yang beragam dan banyak, para pemohon percaya, sebenarnya mendorong kader-kader perempuan menjadi calon presiden juga terbersit di benak berbagai partai politik. Akan tetapi, menyempitnya jalur pencalonan, mengakibatkan prioritas utama jatuh dalam kelompok dengan dominasi yang kuat, yakni laki-laki,” kata Titi dalam persidangan, Kamis (22/8), sebagaimana dipantau melalui saluran YouTube MK, Jumat.
Atas dasar itu, Hadar dan Titi memohon MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk diberlakukan pada Pemilu 2019 dan pemilu berikutnya, sepanjang tidak dimaknai:
“Pasangan calon diusulkan oleh:
a. Partai politik dan/atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR;
b. Gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; atau
c. Gabungan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR paling sedikit 20% dari jumlah partai politik peserta pemilu anggota DPR.”
Selain itu, para pemohon juga mengajukan petitum alternatif, yakni memohon MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan dengan ketentuan sebagai berikut:
“a. Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR;
b. Pasangan calon diusulkan oleh gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; dan
c. Pasangan calon diusulkan oleh gabungan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.”
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: NETGRIT-Titi nilai "presidential threshold" abaikan persebaran suara
Dua pemohon dalam Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 ini ialah Direktur Eksekutif Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay dan pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini.
“Adanya ketimpangan populasi penduduk yang ditinjau dari persebaran daerah di Indonesia menunjukkan bahwa pentingnya persebaran suara di lebih dari setengah provinsi di Indonesia,” ujar kuasa hukum para pemohon, Ahmad Alfarizy dalam sidang perbaikan permohonan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (22/8), sebagaimana dikutip dari laman resmi MK, Jumat.
Menurut para pemohon, Pasal 222 UU Pemilu tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945, yang mengatur bahwa syarat keterpilihan presiden ialah memperoleh suara mayoritas absolut 50 persen + 1 dan memperoleh suara minimal 20 persen di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Namun permasalahannya, menurut para pemohon, Pasal 222 UU Pemilu justru berpengaruh besar dalam menghambat pemenuhan representasi keragaman kultural dan politik dalam pilpres.
Para pemohon meyakini, pasal yang mereka gugat telah membatasi kesempatan partai politik untuk mencalonkan calon presiden dan wakil presiden. Pasal tersebut juga dinilai menjadi faktor hanya terdapat dua pasangan calon dalam pilpres, seperti pada Pemilu 2014 dan 2019.
Hadar dan Titi berpendapat, tingginya ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku memaksa partai-partai untuk berkoalisi dengan tidak alamiah. Partai politik berkoalisi semata untuk mencapai ambang batas, sehingga mendorong kuatnya sentralisasi dukungan yang mengerucut pada dua pasangan calon saja.
Lebih lanjut, para pemohon juga menyoroti bahwa Pasal 222 UU Pemilu membuat ruang keterwakilan perempuan semakin sempit. Oleh karena itu, pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.
Menurut mereka, kekuatan perempuan dalam tubuh partai politik masih lemah sehingga perempuan tidak diprioritaskan dalam pencalonan presiden, terutama ketika partai diharuskan berkoalisi dengan syarat yang sangat besar.
“Dalam konteks partai politik yang beragam dan banyak, para pemohon percaya, sebenarnya mendorong kader-kader perempuan menjadi calon presiden juga terbersit di benak berbagai partai politik. Akan tetapi, menyempitnya jalur pencalonan, mengakibatkan prioritas utama jatuh dalam kelompok dengan dominasi yang kuat, yakni laki-laki,” kata Titi dalam persidangan, Kamis (22/8), sebagaimana dipantau melalui saluran YouTube MK, Jumat.
Atas dasar itu, Hadar dan Titi memohon MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk diberlakukan pada Pemilu 2019 dan pemilu berikutnya, sepanjang tidak dimaknai:
“Pasangan calon diusulkan oleh:
a. Partai politik dan/atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR;
b. Gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; atau
c. Gabungan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR paling sedikit 20% dari jumlah partai politik peserta pemilu anggota DPR.”
Selain itu, para pemohon juga mengajukan petitum alternatif, yakni memohon MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu adalah konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan dengan ketentuan sebagai berikut:
“a. Pasangan calon diusulkan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR;
b. Pasangan calon diusulkan oleh gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR; dan
c. Pasangan calon diusulkan oleh gabungan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.”
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: NETGRIT-Titi nilai "presidential threshold" abaikan persebaran suara