Alam memang tidak pernah mengatur adanya banjir dalam siklus hidrologinya. Banjir terjadi justru karena "kemajuan" peradaban manusia dan "keberhasilan-nya" dalam membangun.
Banjir telah menjadi rapor buruk yang tidak layak diperdebatkan karena merupakan hasil kerja kolektif semua pihak. Banjir, yang awalnya hanya dianggap genangan air karena akumulasi sesaat presipitasi yang akan cepat surut setelah hujan reda, kini menjadi bencana permanen.
Banjir kini meluap dalam skala besar, menggenangi permukiman, menghanyutkan rumah dan harta benda, bahkan menyebabkan korban jiwa, lebih dari 68 jiwa meninggal dunia. Sulawesi Selatan memang "layak" kebanjiran. Banjir terjadi karena terganggunya keseimbangan antara air infiltrasi, run-off (air limpasan) dan evapotranspirasi akibat perubahan daya serap lahan.
Menurunnya daya dukung lahan lewat penebangan hutan dan masifnya pembukaan lahan, apalagi morfologi lahan yang curam pada lapisan tanah yang kedap air, merupakan faktor-faktor utamanya. Selain itu juga menurunnya daya dukung lahan akibat konversi lahan di daerah aliran sungai (DAS).
Sebagai contoh, konversi lahan di DAS Jeneberang Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, menjadi lahan pertanian dan lainnya terus meningkat. Hingga kini tutupan hutannya hanya sekitar 16 persen. Padahal sesuai Pasal 17 UU No. 26 Tahun 2007, luas untuk DAS minimal 30 persen. Selain konversi lahan curah hujan ekstrem, saat itu curah hujan berkisar 100-300 mm per hari. Hal itu diduga disebabkan aliran massa udara di garis khatulistiwa.
Secara bersamaan monsoon dingin mengalir dari Laut China Selatan ke pusat tekanan rendah di Australia. Ditambah lagi faktor iklim, pertumbuhan awan konvektif supersel besar dipicu pada sumbu arus angin pasat digaris tropis (The Inter Tropical Convengence Zone/ITCZ), ITCZ meningkat sejak semu matahari, sehingga memengaruhi puncak musim hujan. Hal itu lebih diperparah lagi dengan terjadinya pertemuan air limpasan presipitasi hujan dan naiknya air pasang laut di daerah hilir.
Pengerukan areal rawa pantai untuk permukiman dan aktivitas komersial ataupun wisata sekelompok warga kelas atas juga terbukti memindahkan air bah ke daerah bawah yang sebelumnya tidak menderita kebanjiran dan menenggelamkan ruas jalan. Faktor intensitas curah hujan dan durasinya tentu sangat berperanan pula menciptakan bencana itu.
Faktor lain adalah akibat tidak tertatanya permukiman jutaan masyarakat yang mengais rezeki dari menumpuknya uang pembangunan di Sulawesi Selatan. Permukiman dibangun di mana saja yang memiliki akses cepat ke pusat-pusat perekonomian.
Daerah rawa yang basah di daerah hilir atau bantaran sungai justru diminati karena harganya terjangkau. Terjadilah komunitas yang sangat padat di daerah itu, dengan perilaku kehidupannya yang tidak mudah ditertibkan.
Permukiman yang padat di bawah Garis Ambang Luap Air (GALA) itu, telah lama dibiarkan pemerintah menantang alam, terutama pada permukiman yang merupakan daerah tangkapan air.
Banjir Sulawesi Selatan juga terjadi karena ulah pengelola pemerintahan itu yang kurang memahami atau kurang peduli pada ancaman bencana banjir. Rencana tata ruang wilayah dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam praktiknya cenderung mudah diabaikan.
Pemerintah juga hanya mampu membangun jalan umum dari bekas jalan setapak yang berliku, bergunung, dan berlembah mengikuti alur topografi asli tanpa pemikiran masalah kebutuhan drainase.
Saluran drainase perkotaan tidak pernah terpikirkan lagi untuk dibuat. Izin pembangunan permukiman di daerah resapan di beberapa wilayah terus diterbitkan tanpa pengawasan meluasnya di bidang dasar bangunan.
Rawa yang bermanfaat untuk peresapan dan ekosistem lingkungan telah tiada akibat diuruk dengan izin mendirikan bangunan yang sah. Perencanaan pengembangan wilayah yang selayaknya bertujuan aman lingkungan terkalahkan oleh praktik manipulasi perizinan yang tidak "berperi-social security".
Yang paling menyedihkan adalah ketika rawa-laut diuruk pengurukan justru menjadi sumber bencana banjir karena perhitungannya yang hanya pada pertimbangan bisnis dan untuk kesenangan sekelompok kecil masyarakat. Pengurukan rawa menjadi permukiman mewah di pantai Sulawesi Selatan menyebabkan pindahnya genangan air ke lokasi permukiman miskin dan menggenangi jalan.
Banjir di Sulawesi Selatan terjadi akibat akumulasi berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi dan minimnya pertimbangan lingkungan, dari penyelenggara pemerintahan, termasuk masyarakatnya, yang cenderung mementingkan diri sendiri.
Banjir telah menjadi bencana struktural yang tidak akan pernah dapat dihentikan. Penyelenggara pemerintahan yang minim visi lingkungan atau kebijakannya kandas oleh oknum pemangku jabatan-jabatan strategis di birokrasi itu.
Melihat kompleksitas masalahnya, banjir Sulawesi Selatan tidak lagi bisa ditanggulangi hanya dengan cara teknis dan fisik, tetapi harus dilakukan perubahan kultur sosial serta perbaikan moral dan ketertiban dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Visi pembangunan harus diperbaiki. Rancangan dan sistem penataan ruang harus "environmental based" bukan hanya berbasis ekonomi dan kemewahan. Objek penyejahteraan pemerintah adalah masyarakat banyak, yang kehidupannya relatif marjinal, bukan untuk melayani komunitas kalangan kelas atas.
Kini, yang mendesak dan terbalik dilakukan adalah redesain hulu dan hilir. Redesign hulu menyangkut peningkatan luas hutan di daerah aliran sungai juga perlu pengurangan alih fungsi lahan dari hutan ke tanaman konsevasi yang bernilai ekonomi, sedangkan hilir, antara pengetahuan tata ruang kota dan pengurangan pengurukan lahan pada daerah rawa.
Selain itu, upaya membuat tower-tower rumah susun di sekitar jalan utama dalam kota lebih dimaksudkan agar permukiman kumuh terhindar dari banjir. Masyarakat di permukiman padat dan kumuh di daerah-daerah yang berada di bawah ketinggian seharusnya segera dipetakan dan diberi perlakuan yang tepat.
Kepadatan penduduk di daerah itu harus dikurangi dan pertambahannya dicegah. Kalau tidak bisa direlokasi ke daerah yang lebih tinggi dan higienis, perlu dibuatkan rumah-rumah susun dan jaringan jalan yang berada pada ketinggian di atas garis luapan air maksimal.
Pengusaha penguruk rawa-pantai harus ikut bertanggung jawab. Pemerintah pun harus memiliki armada pertolongan sosial yang mampu melakukan evakuasi dan mengurusi masyarakat yang menjadi korban kemiskinan dan tidak mampu mendiami daerah bebas banjir yang mahal, mereka yang tidak memiliki alternatif untuk hidup lebih baik.
Pemerintah juga jangan menjadi armada "pemadam kebakaran" yang hanya pontang-panting panik saat terjadi banjir besar. Penataan ruang Sulawesi Selatan yang menjamin permukiman bebas dari luapan air limpasan harus direevaluasi, dengan tetap dibarengi kesadaran bahwa kepentingan pribadi ataupun kelompok kecil masyarakat untuk bermewah diri harus dijauhi bersama.
Masyarakat luas harus dididik memahami masalah bencana lingkungan dengan tindakan-tindakan konservasi yang tepat, termasuk "di-enforced" untuk membangun sumur-sumur peresapan air limpasan terkurangi, di samping untuk menabung reservasi air tanah di musim kemarau.
Tindakan sipil-teknis harus dirancang secara tepat agar aliran air "run-off" dapat didistribusikan dengan baik dan tidak lagi merusak harta benda dan kehidupan penduduk dalam perjalanannya ke laut.
Peningkatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) memang tidak selalu efektif membantu mencegah banjir, tetapi perlu ditingkatkan, didukung dengan daerah resapan air yang diperluas.
Perencanaan dan tindakan terpadu hulu-hilir DAS yang masuk Sulawesi Selatan tetap harus dilaksanakan, meskipun bukan lagi menjadi faktor utama banjir. Pengulangan banjir besar Sulawesi Selatan pada awal 2019 mengingatkan tanggung jawab kita pada alam dan masyarakat.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan harus belajar ulang untuk menyusun pola dan program pembangunan yang lebih terencana, komprehensif, terarah, dan terpadu dalam pengendalian. Akhirnya, kebijakan rencana dan program pembangunan wajib berbasis "environment based".
Selain itu, pemerintah pusat yang terkait agar bersama-sama membantu pemerintah daerah, setidaknya mengurangi intensitas banjir tersebut sejak dini.
*) Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan dan mantan Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Hasanuddin Makassar