Menteri PPPA : Perlu Dorong Pusat Kajian Gender
Makasssar (ANTARA News) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Hj Linda Amalia Agum Gumelar mengatakan, perguruan tinggi perlu mendorong pembentukan pusat studi kajian gender.
"Secara nasional, baru ada tiga universitas yang memiliki pusat studi kajian gender yakni Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin dan Universitas Brawijaya," kata Linda pada Kuliah Umum bertema "Perempuan dan Perlindungan Anak" di Makassar, Senin.
Menurut dia, pusat kajian gender itu sangat penting untuk membantu mencari solusi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan dan anak dari berbagai aspek diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum.
Dia mengatakan, sedikitnya terdapat 171 perguruan tinggi yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia, namun masih sangat minim jumlah perguruan tinggi yang memiliki pusat kajian gender.
Padahal banyak kasus perempuan dan anak yang membutuhkan kajian untuk dicarikan solusinya di lapangan, misalnya perdagangan anak dan perempuan (trafficking), kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi perempuan dalam pembuatan kebijakan dan sebagainya.
Salah satu bentuk ketertinggalan kaum perempuan dibandingkan laki-laki berada di sektor pendidikan. Terbukti dari data BPS diketahui, angka buta huruf pada perempuan berusia di atas 15 tahun mencapai 9,48 persen, sementara laki-laki berusia di atas 15 tahun hanya 4,3 persen.
Sementara dari segi usia anak yang berkesempatan bersekolah, lanjut Linda, laki-laki tercatat 8,34 tahun, sedangkan perempuan 7,50 tahun.
"Karena itu, pusat kajian gender itu sangat penting keberadaannya, karena hasil kajiannya dapat digunakan oleh para pihak dalam membuat suatu kebijakan, khususnya pemerintah di daerah," ujarnya. (T.S036/R010)
"Secara nasional, baru ada tiga universitas yang memiliki pusat studi kajian gender yakni Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin dan Universitas Brawijaya," kata Linda pada Kuliah Umum bertema "Perempuan dan Perlindungan Anak" di Makassar, Senin.
Menurut dia, pusat kajian gender itu sangat penting untuk membantu mencari solusi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan dan anak dari berbagai aspek diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum.
Dia mengatakan, sedikitnya terdapat 171 perguruan tinggi yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia, namun masih sangat minim jumlah perguruan tinggi yang memiliki pusat kajian gender.
Padahal banyak kasus perempuan dan anak yang membutuhkan kajian untuk dicarikan solusinya di lapangan, misalnya perdagangan anak dan perempuan (trafficking), kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi perempuan dalam pembuatan kebijakan dan sebagainya.
Salah satu bentuk ketertinggalan kaum perempuan dibandingkan laki-laki berada di sektor pendidikan. Terbukti dari data BPS diketahui, angka buta huruf pada perempuan berusia di atas 15 tahun mencapai 9,48 persen, sementara laki-laki berusia di atas 15 tahun hanya 4,3 persen.
Sementara dari segi usia anak yang berkesempatan bersekolah, lanjut Linda, laki-laki tercatat 8,34 tahun, sedangkan perempuan 7,50 tahun.
"Karena itu, pusat kajian gender itu sangat penting keberadaannya, karena hasil kajiannya dapat digunakan oleh para pihak dalam membuat suatu kebijakan, khususnya pemerintah di daerah," ujarnya. (T.S036/R010)