Jakarta (ANTARA) - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 yang diperuntukkan hanya untuk barang mewah berdampak lebih positif terhadap ekonomi.
“Kenaikan PPN 12 persen hanya untuk barang mewah lebih positif ke ekonomi, meski saat ini harga barang terlanjur naik karena aturan teknis peraturan Menteri Keuangan (PMK) terlambat terbit,” kata Bhima dalam jawaban tertulisnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan bahwa pemerintah pada akhirnya turut menimbang efek daya beli masyarakat menengah ke bawah dan UMKM. Namun, menurut Bhima, seharusnya pemerintah mulai menyiapkan penurunan tarif PPN ke 8 persen, setelah pembatalan PPN 12 persen terhadap barang dan jasa umum.
Ia menambahkan, banyak opsi yang tersedia bagi pemerintah untuk menggantikan penerimaan PPN yang tidak jadi naik. Salah satunya, pemerintah bisa mulai merancang pajak kekayaan total harta orang super kaya dapat dipungut pajak sebesar 2 persen.
“Jadi bukan pajak penghasilan, ya. Tapi pajak harta yang selama ini Indonesia belum punya. Estimasinya akan diperoleh Rp81,6 triliun sekali penerapan pajak kekayaan. OECD dan G20 kan mendorong pemberlakuan pajak kekayaan juga,” kata Bhima.
Kedua, yaitu pajak karbon yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), juga bisa dijalankan pada tahun ini. Mengenai pajak karbon, ujar Bhima, pemerintah tinggal mengeluarkan PMK-nya saja.
“Begitu diberlakukan ke PLTU batu bara, hasil pajak karbon akan digunakan untuk dorongan belanja energi terbarukan yang serap tenaga kerja. Bagus juga pajak karbon bagi lingkungan hidup,” kata dia lagi.
Kemudian yang ketiga, opsi penerimaan PPN juga dapat melalui pajak produksi batu bara di luar royalti yang lebih tinggi. Keempat, tutup kebocoran pajak pada sektor sawit dan tambang.
“Kelima, evaluasi seluruh insentif pajak yang tidak tepat sasaran. Misalnya, perusahaan smelter nikel yang labanya besar sekali tidak perlu dikasih tax holiday,” kata Bhima.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah resmi menetapkan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah.
Adapun barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN 12 persen merupakan barang jasa yang sudah tercantum dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Barang-barang tersebut contohnya seperti rumah/apartemen/kondominiun mewah dengan harga di atas Rp30 miliar, pesawat pribadi, kapal pesiar, yacht, kendaraan bermotor mewah, dan seterusnya.
Di luar kategori barang dan jasa mewah tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa tarif PPN masih tetap di angka 11 persen. Sementara itu, khusus untuk bahan-bahan pokok, pemerintah membebaskan tarif PPN.
Adapun rincian aturan mengenai perpajakan tersebut ditetapkan dalam PMK.
Sementara itu, seluruh paket stimulus ekonomi untuk masyarakat dan insentif perpajakan yang diumumkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 16 Desember 2024 tetap berlaku.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ekonom: PPN 12 persen untuk barang mewah lebih positif ke ekonomi