Muhasabah dan revolusi mental nasional
Bondowoso (ANTARA) - Kajian mengenai pengaruh beban jiwa terhadap kebahagiaan hingga keberlimpahan atau kemakmuran hidup seseorang kini semakin intensif dilakukan. Fakta bahwa kemakmuran komunal hingga secara luas sebagai bangsa, banyak ditentukan oleh kerja mental atau jiwa setiap individu, juga mulai diterima oleh berbagai kalangan.
Dalam bahasa psikologi, kondisi jiwa itu dikenal dengan istilah "beban psikologis". Semakin tinggi beban psikologis seseorang, maka semakin jauh pula hidupnya dari kemakmuran. Dari individu ini, kemudian berandil pada realitas masyarakat suatu wilayah, bahkan hingga suatu bangsa.
Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo mengeluarkan program gerakan Revolusi Mental Nasional, yang dengannya bangsa ini diharapkan menjadi semakin maju dan makmur. Lewat perbaikan mental, yang hakikatnya adalah perbaikan kualitas jiwa, ikhtiar pembangunan dapat berjalan dengan mulus, sehingga sebagai pewaris peradaban bangsa besar dari Kerajaan Sriwijaya hingga Majapahit, dapat kembali menghadirkan kejayaan masa lalu itu, bukan sekadar jargon-jargon nostalgia.
Indonesianis asal Korea Selatan, Prof Koh Young Hun pernah menggugah kesadaran mental kolektif bangsa ini dengan menyebut Bangsa Indonesia adalah Garuda, bukan burung emprit.
Dalam sebuah perbincangan dengan Antara di Kota Seoul, guru besar Bahasa Indonesia-Melayu di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), Seoul, Korsel, ini mengatakan bahwa sejatinya bangsa Indonesia mewarisi jiwa besar, sehingga juga memiliki potensi unggul untuk menjadi bangsa besar yang disegani.
Kembali ke bahasan mengenai beban psikologis, untuk lebih mengefektifkan program-program menuju ke peradaban yang lebih maju, maka jalan terpenting saat ini adalah bagaimana bangsa ini secara kolektif harus melakukan revolusi mental, dengan cara terus menerus melakukan pemurnian jiwa, yang dalam konteks agama dikenal sebagai menuju kepada keadaan jiwa yang fitrah.
Pemurnian jiwa menuju ke yang fitrah ini, akan berdampak pada efektivitas program pembangunan yang sedang dijalankan oleh Pemerintah. Praktik kecurangan dalam pembangunan, salah satu yang tampak adalah korupsi, menjadi gambaran bahwa upaya pemfitrahan jiwa masih perlu diupayakan di semua level atau strata di masyarakat.
Pemurnian jiwa, dalam khazanah agama, khususnya tasawuf, dikenal dengan upaya "tazkiyatun nafs" atau penyucian jiwa. Jiwa yang suci, baik individu maupun kelompok, dalam perjalanan bersama suatu bangsa akan berpengaruh besar terhadap kemajuan bangsa itu.
Seorang praktisi pembelajaran kesadaran murni, Ahmad Junedi Cajna, yang dalam beberapa tahun terakhir mendalami kajian pengaruh kefitrahan jiwa pada kehidupan sosial dan ekonomi secara individu maupun secara komunal, berkesimpulan bahwa semakin banyak anggota masyarakat yang berada dalam posisi jiwa yang fitrah, maka semakin makmur dan majulah suatu bangsa.
Salah satu contohnya adalah pengaruh jiwa yang fitrah terhadap kesehatan individu pada akhirnya juga berdampak secara luas, khususnya sebagai bangsa. Misalnya, jika semakin banyak warga yang berjiwa murni atau luhur yang hal itu berdampak pada kesehatannya, maka program jaminan kesehatan yang saat ini dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak akan banyak mengeluarkan biaya pengobatan warga. Dengan demikian, anggaran negara bisa digunakan untuk kepentingan lain, seperti infrastruktur dan lainnya.
Mereka yang diberi kesempatan untuk belajar tasawuf, tentu dengan mudah mempraktikkan upaya-upaya untuk pembersihan jiwa itu karena sudah memiliki tuntunan praktis dalam komunitasnya. Bagi masyarakat umum, praktik itu tentu sulit untuk dikerjakan.
Ahmad Junedi bersama tim berupaya menemukan berbagai metode agar setiap individu mampu memiliki jiwa luhur, sehingga secara jiwa dan raga selalu sehat yang pada akhirnya setiap individu itu mampu berkontribusi besar pada setiap program pembangunan bangsa ini.
Berangkat dari konsep "muhasabah" atau mengoreksi diri setiap saat, Junaedi kemudian mengidentifikasi 50 item untuk mendeteksi kondisi jiwa yang tidak dalam keadaan fitrah itu, mulai dari masih ada rasa marah di dalam diri, mudah meremehkan orang lain, merasa hidup berat, mudah berprasangka buruk pada orang lain atau keadaan, merasa tertekan oleh keadaan, iri pada orang lain dan lainnya. Dari 50 item itu, kini sudah bertambah menjadi 54 dan dalam pengembangannya kemungkinan bisa bertambah.
Ahmad Junedi, alumni S2 Teknik Biomedika ITB, ini telah menerbitkan buku berjudul "Cognitive Science for the Ultimate Mind" untuk pengembangan sumber daya manusia Indonesia berkualitas.
Lewat alat bantu untuk mengalibrasi kualitas jiwa itu, tentu harus dimuhasabahi dengan jujur kepada diri sendiri. Seseorang diajak ikhlas melepas jiwa tidak murni itu atau dalam bahasa ilmu kesadaran murni dikenal dengan istilah letting go.
Setelah tersadari adanya jiwa yang tidak fitrah itu, lalu diikhlaskan untuk dilepaskan, kemudian memilih secara rasa sadar untuk tetap berada di jiwa luhur yang fitrah, seperti merasakan hidup penuh kesyukuran, hidup penuh kelimpahan, hidup penuh dengan kelapangan, sehingga tidak ada kata lain yang muncul dari dalam batinnya, kecuali "alhamdulilah" alias selalu berterima kasih pada Allah.
Hidup dengan kualitas jiwa yang seperti ini, akan berdampak pada kesehatan lahir dan batinnya. Seseorang yang jiwanya demikian, kemudian menjadi lebih semangat dan tetap menikmati (enjoy) dalam menjalankan tugas atau pekerjaan. Pada ujungnya mampu mewujudkan produktivitas tinggi pula.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Muhasabah dan revolusi mental
Dalam bahasa psikologi, kondisi jiwa itu dikenal dengan istilah "beban psikologis". Semakin tinggi beban psikologis seseorang, maka semakin jauh pula hidupnya dari kemakmuran. Dari individu ini, kemudian berandil pada realitas masyarakat suatu wilayah, bahkan hingga suatu bangsa.
Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo mengeluarkan program gerakan Revolusi Mental Nasional, yang dengannya bangsa ini diharapkan menjadi semakin maju dan makmur. Lewat perbaikan mental, yang hakikatnya adalah perbaikan kualitas jiwa, ikhtiar pembangunan dapat berjalan dengan mulus, sehingga sebagai pewaris peradaban bangsa besar dari Kerajaan Sriwijaya hingga Majapahit, dapat kembali menghadirkan kejayaan masa lalu itu, bukan sekadar jargon-jargon nostalgia.
Indonesianis asal Korea Selatan, Prof Koh Young Hun pernah menggugah kesadaran mental kolektif bangsa ini dengan menyebut Bangsa Indonesia adalah Garuda, bukan burung emprit.
Dalam sebuah perbincangan dengan Antara di Kota Seoul, guru besar Bahasa Indonesia-Melayu di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), Seoul, Korsel, ini mengatakan bahwa sejatinya bangsa Indonesia mewarisi jiwa besar, sehingga juga memiliki potensi unggul untuk menjadi bangsa besar yang disegani.
Kembali ke bahasan mengenai beban psikologis, untuk lebih mengefektifkan program-program menuju ke peradaban yang lebih maju, maka jalan terpenting saat ini adalah bagaimana bangsa ini secara kolektif harus melakukan revolusi mental, dengan cara terus menerus melakukan pemurnian jiwa, yang dalam konteks agama dikenal sebagai menuju kepada keadaan jiwa yang fitrah.
Pemurnian jiwa menuju ke yang fitrah ini, akan berdampak pada efektivitas program pembangunan yang sedang dijalankan oleh Pemerintah. Praktik kecurangan dalam pembangunan, salah satu yang tampak adalah korupsi, menjadi gambaran bahwa upaya pemfitrahan jiwa masih perlu diupayakan di semua level atau strata di masyarakat.
Pemurnian jiwa, dalam khazanah agama, khususnya tasawuf, dikenal dengan upaya "tazkiyatun nafs" atau penyucian jiwa. Jiwa yang suci, baik individu maupun kelompok, dalam perjalanan bersama suatu bangsa akan berpengaruh besar terhadap kemajuan bangsa itu.
Seorang praktisi pembelajaran kesadaran murni, Ahmad Junedi Cajna, yang dalam beberapa tahun terakhir mendalami kajian pengaruh kefitrahan jiwa pada kehidupan sosial dan ekonomi secara individu maupun secara komunal, berkesimpulan bahwa semakin banyak anggota masyarakat yang berada dalam posisi jiwa yang fitrah, maka semakin makmur dan majulah suatu bangsa.
Salah satu contohnya adalah pengaruh jiwa yang fitrah terhadap kesehatan individu pada akhirnya juga berdampak secara luas, khususnya sebagai bangsa. Misalnya, jika semakin banyak warga yang berjiwa murni atau luhur yang hal itu berdampak pada kesehatannya, maka program jaminan kesehatan yang saat ini dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak akan banyak mengeluarkan biaya pengobatan warga. Dengan demikian, anggaran negara bisa digunakan untuk kepentingan lain, seperti infrastruktur dan lainnya.
Mereka yang diberi kesempatan untuk belajar tasawuf, tentu dengan mudah mempraktikkan upaya-upaya untuk pembersihan jiwa itu karena sudah memiliki tuntunan praktis dalam komunitasnya. Bagi masyarakat umum, praktik itu tentu sulit untuk dikerjakan.
Ahmad Junedi bersama tim berupaya menemukan berbagai metode agar setiap individu mampu memiliki jiwa luhur, sehingga secara jiwa dan raga selalu sehat yang pada akhirnya setiap individu itu mampu berkontribusi besar pada setiap program pembangunan bangsa ini.
Berangkat dari konsep "muhasabah" atau mengoreksi diri setiap saat, Junaedi kemudian mengidentifikasi 50 item untuk mendeteksi kondisi jiwa yang tidak dalam keadaan fitrah itu, mulai dari masih ada rasa marah di dalam diri, mudah meremehkan orang lain, merasa hidup berat, mudah berprasangka buruk pada orang lain atau keadaan, merasa tertekan oleh keadaan, iri pada orang lain dan lainnya. Dari 50 item itu, kini sudah bertambah menjadi 54 dan dalam pengembangannya kemungkinan bisa bertambah.
Ahmad Junedi, alumni S2 Teknik Biomedika ITB, ini telah menerbitkan buku berjudul "Cognitive Science for the Ultimate Mind" untuk pengembangan sumber daya manusia Indonesia berkualitas.
Lewat alat bantu untuk mengalibrasi kualitas jiwa itu, tentu harus dimuhasabahi dengan jujur kepada diri sendiri. Seseorang diajak ikhlas melepas jiwa tidak murni itu atau dalam bahasa ilmu kesadaran murni dikenal dengan istilah letting go.
Setelah tersadari adanya jiwa yang tidak fitrah itu, lalu diikhlaskan untuk dilepaskan, kemudian memilih secara rasa sadar untuk tetap berada di jiwa luhur yang fitrah, seperti merasakan hidup penuh kesyukuran, hidup penuh kelimpahan, hidup penuh dengan kelapangan, sehingga tidak ada kata lain yang muncul dari dalam batinnya, kecuali "alhamdulilah" alias selalu berterima kasih pada Allah.
Hidup dengan kualitas jiwa yang seperti ini, akan berdampak pada kesehatan lahir dan batinnya. Seseorang yang jiwanya demikian, kemudian menjadi lebih semangat dan tetap menikmati (enjoy) dalam menjalankan tugas atau pekerjaan. Pada ujungnya mampu mewujudkan produktivitas tinggi pula.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Muhasabah dan revolusi mental